Social Icons

Pages

Sabtu, 15 Juni 2013

Aspek Legal Penyandang Disabilitas - Landasan Penanganan Disabilitas Mental

Selaras dengan amanat UUD 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Artinya pencapaian kesejahteraan bagi manusia, dan penyandang disabilitas adalah juga manusia, maka hak nya sama seperti manusia lainnya untuk bisa menikmati kesejahteraan hidupnya, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan hak-hak manusia lainnya. Sebagaimana yang diamanatkan juga oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Penyandang Cacat.Pada tahun 2002, Indonesia sebagai bagian dari Negara di kawasan Asia-Pasifik ikut mendukung dicanangkannya Asian-Pacific Decade for Disabled Persons 2003-2012 di Okinawa, Jepang, yang disertai agenda aksi untuk mengisi dasawarsa tersebut yang dikenal dengan Biwako Millennium Framework. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat inklusi, bebas hambatan, dan didasarkaan pada hak asasi bagi penyandang disabilitas di kawasan Asia dan Pasifik pada abad 21. Biwako Millennium Framework itu sendiri berisi kesepakatan negara kawasan Asia dan Pasifik yang memuat agenda aksi yang bertujuan untuk pemenuhan hak hidup yang lebih baik bagi penyandang disabilitas. 
Kemudian Indonesia di tahun 2004 meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat 2004-2013 yang merupakan pengadopsian agenda Biwako Millennium Framework. Hal tersebut dilakukan untuk merespon Dasawarsa Asia-Pasifik bagi Penyandang Cacat 2003-2012. Dengan tambahan 1 (satu) agenda aksi lagi yaitu Kerjasama Internasional dan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2010, Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat 2004-2013 telah direview, dengan pencapaian target RAN Penyandang Cacat masih jauh dari harapan. Pencapaian kemajuan masih cenderung pada sector sosial/kesejahteraan social dalam arti sempit. Padahal sejak dua dasawarsa lalu, pendekatan penanganan issu disabilitas sudah bergerak ke arah pemenuhan hak dan bersifat multi sector. 
Pada tanggal 19 Oktober 2011 Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Hal ini diundangkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas). Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini, Indonesia harus melaksanakan amanat konvensi termasuk pelaporaannya secara berkala kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ratifikasi ini membawa konsekuensi perlunya perubahan kebijakan dan program kearah pemenuhan hak penyandang disabilitas dan pelibatan multi sector dalam penanganan masalah disabilitas di level manapun. Partnership atau kerjasama, koordinasi, serta komitmen bersama lintas sector/berbagai pihak dan masyarakat itu sendiri dalam penanganan penyandang disabilitas menjadi hal yang seharusnya. 

Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan kebijakan lainnya, seperti dasawarsa lanjutan 2013-2021 bagi penyandang disabilitas di kawasan Asia Pasifik, menjadikan issue disabilitas sebagai issue bersama, tidak melulu urusan salah satu intansi/lembaga saja. Ini akan menjadi tugas berat bersama yang membutuhkan kerjasama berbagai pihak seara sadar dan berkesinambungan dalam penanganan penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyandang gangguan jiwa atau disabilitas mental, dalam bahasa lain mental health-mental illness. 

Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Cacat mewakili langkah ke depan dalam meningkatkan taraf hidup Penyandang cacat mental. Ini mencakup ketentuan-ketentuan penting yang penting dalam mengakhiri pelanggaran dan promosi perlindungan hak asasi manusia. Penyandang cacat mental di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan mental yang baik. Dimana pelayanan tersebut ada, sering diberikan melalui lembaga kesehatan mental yang tergabung dengan banyak pelanggaran hak asasi manusia dan outcome kesehatan yang rendah. Konvensi tersebut mempromosikan keterlibatan dan partisipasi secara penuh dalam kehidupan masyarakat dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas sedekat mungkin kepada masyarakat mereka sendiri (pasal 19 – Hidup mandiri dan terlibat dalam masyarakat). Hal ini memiliki implikasi yang penting dalam hal deinstitusionalisasi dan pembangunan pelayanan kesehatan mental dan sosial berbasis masyarakat (Pasal 12 Pengakuan yang sama di depan hukum).

Penyandang cacat sering diasumsikan dengan rendahnya kapasitas dalam tanggung jawab dan pembuatan keputusan berkenaan dengan hidup mereka sendiri. Konvensi ini memberikan perhatian kepada gagasan ini dengan mempromosikan hak utama seperti hak untuk memiliki kekayaan (property), untuk masuk dalam kontrak, untuk mengelola urusan keuangan sendiri, untuk menikah, bekerja, dan mempertahankan hak asuh anak. Lebih lanjut Konvensi itu menyatakan bahwa penyandang cacat harus menahan kapasitas legal, dan, jika dibutuhkan, harus diberikan dengan dukungan dalam melatih kemampuan hukum dan hak mereka (Pasal 12 Pengakuan yang sama di depan hukum). 


Stigma yang dihubungan dengan penyandang cacat membuat orang ditolak secara hak ekonomi, sosial, sipil, dan politik yang diberikan kepada orang lain. Dengan mempromosikan partisipasi yang benar dalam politik dan kehidupan umum, pada pelayanan pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan habilitasi/rehabilitasi, hak kerja, ketenagakerjaan, dan hak-hak lainnya, Konvensi memberikan kerangka kerja hukum untuk perlahan menghapus pengalaman diskriminasi setiap hari oleh orang-orang penyandang cacat


Salam,
Nursyamsu Kusuma  (NK)
dalam "Earth Hails"

Tidak ada komentar: