Social Icons

Pages

Jumat, 15 Agustus 2014

AK Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik (Part 2)

Meneruskan tulisan sebelumnya "Algoritma Kebijakan (AK) Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik, di waktu yang agak luang ini, coba dilanjutkan kembali..


Terkait kebijakan, ada yang mempertanyakan "apa sih bedanya kebijakan dengan undang-undang"? Pertanyaan yang nampaknya sederhana, namun cukup membuat merenung untuk bisa membedakannya dengan baik. Memang dengan mempertanyakan hal tersebut bisa jadi bukanlah hal yang penting, tapi tidak ada salahnya disampaikan sedikit sebagai pengingat saja. Secara sederhana kebijakan lebih memiliki sifat memandu untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Sedangkan Undang-Undang cederung berisi larangan dan hal-hal untuk membatasi, karena menganggap masyarakat tidak hanya terdiri dari orang yang baik, namun juga ada orang-orang yang jahat.

Pertanyaan berikutnya yang lebih layak dipertanyakan adalah "apakah hubungan atau adakah hubungan antara kebijakan dan undang-undang?". Andrew Lee Suer & Maurice Sunkin (2003) menyatakan bahwa undang-undang adalah bentuk akhir dari kebijakan publik, undang-undang adalah legitimasi resmi bagi kebijakan untuk memperoleh kekuasaan dalam kebijakan publik. Suer dan Sunkin menyatakan kemudian bahwa "Tahap-tahap legal utama mencerminkan dua peran fundamental yang dilakukan undang-undang dalam konstitusional. Dalam peran fundamental pertama, dalam bentuk legislasi, dapat dilihat sebagai alat yang memungkinkan pemerintah untuk melanjutkan kebijakannya. Pada peran lainnya, undang-undang dalam bentuk prinsip-prinsip legal yang ditegakkan oleh pengadilan menjadi mekanisme mengontrol kekuasaan pemerintah. Prinsip-prinsip pemerintahan terbatas..... ada batasan legal pemerintah".

Terkait definisi tersebut, ada beberapa langkah yang harus dilalui:
1. Proses kebijakan adalah identifikasi masalah yang memerlukan tindakan pemerintah;
2. Kemudian Pemerintah mengajukan kebijakan;
3. Undang-undang menyediakan otoritas legal bagi kebijakan untuk diaplikasikan;
4. Implementasi kebijakan;
5. Menghadapi tantangan politik dan legal dalam implementasi kebijakan.

Artinya bahwa kebijakan tanpa undang-undang tidak akan memiliki kekuasaan dalam implementasi. Undang-undang sangat penting sebagai alat legitimasi pada era modern ini, sebagai bentuk akuntabilitas publik yang merupakan kesepakatan tertulis secara formal bagi publik harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Pada konteks kebijakan dan undang-undang, ada model 'kebijakan sebagai undang-undang' yang cukup kental di negara-negara dunia ketiga/berkembang, yang merupakan model yang kemungkinan diperoleh dari model kontinentalis. Diantaranya dialami oleh Indonesia yang memiliki keyakinan bahwa undang-undang sebaiknya bersifat makro, karena akan ada perincian dalam peraturan yang lebih bawah, dimana peraturan yang lebih bawah ini terdiri dari dua tingkat, yaitu menengah dan yang paling bawah. Sehingga 'kebijakan sebagai undang-undang' dibuat menjadi peraturan makro, mezzo, dan mikro.

Apa yang disebut dengan Makro, Mezzo dan Mikro? Kebijakan makro merupakan kebijakan pemandu, mezzo merupakan kebijakan tingkat menengah, sedangkan mikro merupakan kebijakan pengimplementasian. Seperti misalnya di Indonesia, di tingkat yang dianggap paling atas ada undang-undang dasar sebagai kebijakan makro, dibawahnya ada undang-undang yang dianggap sebagai kebijakan makro dan terkadang dianggap sebagai kebijakan mezzo, dibawahnya lagi ada peraturan pemerintah yang dianggap sebagai kebijakan mezzo yang terkadang bertindak sebagai kebijakan mikro, dibawahnya lagi ada peraturan presiden sebagai kebijkan mikro, termasuk juga peraturan menteri. Kemudian disusul oleh peraturan regional atau peraturan daerah sebagai kebijakan mikro. Namun secara kontekstual di daerah, peraturan daerah dianggap sebagai kebijakan mezzo dan makro yang akan dibuat lebih detail dalam bentuk peraturan gubernur atau peraturan walikota/bupati.

Sebagai contoh misalnya tentang kebijakan kesejahteraan sosial, yang terdiri dari undang-undang kesejahteraan sosial, peraturan pemerintah tentang kesejahteraan sosial, peraturan presideng terkait kesejahteraan sosial, peraturan menteri terkait kesejahteraan sosial, kemudian peraturan daerah-peraturan gubernur-peraturan walikota/bupati terkait kesejahteraan sosial. Secara empirical,  model ini memberikan permasalahan  "implementasi", bahwa misalnya undang-undang  rata-rata memerlukan waktu yang cukup panjang untuk diimplementasikan, karena pada prakteknya pelaksanaan undang-undang ada di level daerah, dan untuk sampai pelaksanaan di daerah, ia harus melalui strukturasi kebijakan seperti yang diterangkan diatas.

To be continue....

NK - "Earth Hails"

Daftar pustaka:
Suer, Andrew Lee, & Maurice Sukin, 1997, Public La, London: Longman..
Nugroho, Riant, 2014, Public Policy for the Developing Countries, PP
READ MORE - AK Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik (Part 2)

Jumat, 08 Agustus 2014

Menilik Kembali Manajemen Kinerja Sektor Publik "Berorientasi Hasil" - 1

Mungkin karena sering berkecimpung pada pekerjaan-pekerjaan evaluasi dan pelaporan-pelaporannya, selain lebih banyak belajar, saya juga menemukan banyak kerancuan-kerancuan pada program atau kegiatan-kegiatan yang ada di lembaga yang bergerak di urusan sosial.
Sangat berterimakasih pada kesempatan sekaligus tantangan yang diberikan bekerja di ranah evaluasi seperti ini. Tentu saja tulisan ini tidak untuk menilai atau menguak sisi buruk dari pola manajemen program yang ada, tapi lebih kepada ruang diskusi dan atau sharing untuk kita sama-sama belajar, kontemplasi & mencari solusi terbaik yang semestinya.


Sebagian besar program/kegiatan, target capaian yang ditetapkan sebagai indikator kinerja adalah berada pada level "output", meskipun dari beberapa pembahasan merasa sudah di level outcome dst. Pembahasan terkait ini menunjukkan memang hanya sampai output, itupun berdasarkan serapan anggaran, sangat kuantitatif, jauh dari format target capaian pada kualitas program. Tidak perlu jauh-jauh sampai ke benefit - impact dst, outcome pun belum teridentfikasi secara sistemik. Singkat kata, terlepas dari semua diskursus yang ada, kita mesti mengakui bahwa pemahaman terkait rangkaian sistemik perencanaan & pengukuran kinerja masih belum mapan. Sebut saja diantaranya terkait visi, misi, tujuan, yang kemudian diterjemahkan kedalam strategi. Kemudian strategi ini didalamnya ada sasaran strategik, inisiatif strategik, indikator kinerja dan target kinerja. Setelah itu baru masuk pada penyusunan program, yang diakhiri dengan penyusunan anggaran. Semua rangkaian tersebut sebagai satu kesatuan sistem yang terstruktur dan konstelatif. Perlu disampaikan disini, bahwa tahapan penyusunan anggaran sebenarnya hal yang sudah "given" menyesuaikan bahkan harus menyesuaikan dengan program yang disusun. Bukan sesuatu yang paling krusial dari semua rangkaian tersebut. Faktanya sering kali penyusunan program berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan. Penyusunan anggaran sebagai tolok ukur kemapanan keilmuan yang dimiliki SDM. Logikanya tidak bisa diterima sama-sekali, kecuali dengan bahasa "permakluman". Untuk kemudian melahirkan program-program yang kurang sesuai, tidak tepat sasaran, chaos dst itu adalah wajar.

Sebenarnya semua sistem manajemen atau perencanaan itu orientasinya kemana? fokus atau apa yang dicari? tentu semua rangkain tersebut dilakukan agar ada "hasil", hasil disini identik dengan "outcome", sehingga menjadi sesuatu yang semestinya ketika pola "manajemen berorientasi hasil" sebaiknya jadi acuan. Sebagaimana kita pahami bersama dari literatur-literatur yang ada, perkembangan manajemen kinerja sektor publik yang berorientasi pada hasil menjadikan pengukuran "outcome" sebagai hal yang sangat penting. Pengukuran outcome tersebut memungkinkan pemimpin lembaga atau manajer perusahaan lebih mampu mempertanggungjawabkan program kegiatan yang ada secara lebih baik kepada publik/masyarakat dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Pengukuran yang hanya fokus mengaduk-aduk dst pada level "input" (seperti staf dan anggaran) dan "output" (aktivitas program, jumlah orang yang dilayani dst) belum mampu menunjukkan efektivitas program. Pengukuran efektivitas menuntut adanya spesifikasi tujuan terhadap hasil yang diharapkan yang pencapaiannya diukur dengan outcome.

Terkait outcome ini, atau lembaga yang akan menerapkan manajemen kinerja berbasis hasil , memang disarankan bahkan disyaratkan untuk memiliki sistem pengukuran outcome. Banyak sistem pengukuran yang bisa diadopsi terkait hal ini, tapi yang jelas sistem pengukuran outcome tersebut harus memberikan informasi mengenai biaya hasil (cost-outcome) dan efektivitas biaya (cost-effectiveness). Biaya hasil ini menginformasikan apakah biaya yang telah dikeluarkan memberikan hasil. Cost-effectiveness memberikan informasi apakah biaya yang dikeluarkan telah mencapai tujuan yang diinginkan....


to be continue

NK -
"Earth Hails"
READ MORE - Menilik Kembali Manajemen Kinerja Sektor Publik "Berorientasi Hasil" - 1

Kamis, 07 Agustus 2014

Algoritma Kebijakan Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik

Kebijakan terkait masyarakat atau terkait orang banyak bisa disebut sebagai  kebijakan publik.  Indonesia sebagai salah satu negara berkembang seringkali menetapkan konsep kebijakan publik nya mengacu kepada negara maju (sebut saja diantaranya Amerika, Eropa, Australia & Jepang). Meskipun dipahami bahwa karakteristik dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia tentunya tidak sama dengan negara-negara maju tersebut, baik dari segi SDA, SDM, culture, politik dll. Namun fakta menunjukkan bahwa mengacu kepada negara-negara maju dalam arti “copy paste” sudah menjadi ‘kelatahan ‘politik & administrasi-birokrasi negara.  Apakah betul lembaga-lembaga finansial dunia yang concern pada konteks pembangunan seperti IMF & World Bank memiliki contoh-contoh keberhasilannya dari negara-negara maju itu sesuai dengan tekstur Indonesia? Bagi yang berakal sehat & cenderung objective tentu saja akan mengatakan “tidak”.


Diawal terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, Indonesia mengikuti saran dari IMF untuk mampu menghindar dari krisis ekonomi yang parah. Tapi apa yang terjadi? Indonesia semakin terjerumus kedalam krisis yang dalam dan berkepanjangan. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1997, tentu kita ingat, saat Pemerintah Indonesia mengkikuti saran Bank Dunia untuk melakukan privatisasi perusahaan air minum Jakarta, dan kebijakan yang disarankan World Bank tersebut “gagal” setelah 12 tahun melaksanakan Public Private Partnership (PPP) atau kemitraan swasta publik. Layanan air minum jakarta masih dikendalikan pemerintah, berbeda dengan Singapura. Sisi kesiapan dari sasaran kebijakan seringkali diabaikan, dan konteks lain yang sangat sering dilupakan dan menjadi penyebab kegagalan adalah pengabaian terhadap inovasi lokal.

Di Timur Tengah, model demokrasi Barat yang diterapkan di Irak dan Afghanistan telah menyebabkan negara tersebut menjadi “bangsa yang gagal” (Chomsky, 2005). Penekanan disini bukan pada buruknya kebijakan berbasis demokrasi yang disarankan oleh pemikiran Barat terhadap negara-negara berkembang, akan tetapi ebih kepada “tidak kontekstual & tidak relevan” nya model tersebut bagi tekstur yang dimiiki sebagian besar atau beberapa negara berkembang.

Malaysia melakukan pendekatan berbeda dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi tersebut, dan berhasil keluar dari krisis dengan cepat. Singapura juga melakukan pendekatan kebijakan publik yang berbeda, dan mejadikan Singapura sebagai negara paling maju & stabil di Asia Tenggara, bahkan menjadi pusat bisnis dunia. Malaysia & Singapura merupakan salah satu contoh negara yang tetap mengedepankan kekhasan lokalitas yang mereka miliki untuk menetapkan kebijakan pembangunan. Singapura misalnya, mereka merupakan negara maju yang “kurang demokratis” , tapi menjadi negara yang maju, begitu juga dengan Malaysia. Tetap ada pragmatisme kebijakan yang mereka lakukan dalam melakukan Pendekatan konsep pembangunan. Pragmatisme kebijakan (Austin, 2001) menyimpulkan bahwa sebaiknya ada model kebijakan publlik berbeda yang diterapkan agar berhasil membangun negara-negara berkembang.

Contoh lain misalnya China, yang merupakan sebuah negara komunis, dan menjadi lawan dari setiap model kebijakan yang disarankan negara-negara yang telah maju/Barat. Kebijakan China bersifat “pragmatisme”, seperti yang dinyatakan oleh Mao bahwa “tidak masalah apakah kucingnya berwarna merah atau putih, selama kucing dapat menangkap tikus”. Saat ini bisa dilihat, China dengan model kebijakan yang kurang demokratis tersebut telah mengarah menjadi ekonomi dunia terbesar di masa yang akan datang, dengan cadangan devisa asingnya pada Januari 2011 mencapai sekitar US$ 2,85 triliun, jauh diatas Jepang US$ 1,2 triliun, Korea Selatan US$ 292 miliar, Singapura US$ 226 miliar. Sejak tahun 2007 sebenarnya China telah menjadi pemilik cadangan devisa asing terbesar di dunia, dengan peningkatan yang pesat. Misalnya di tahun 2010 cadangan devisa asing China sekitar US$ 1,4 triliun, meningkat US$ 2,85 triliun di tahun 2011 (dalam waktu 1 tahun). Hal ini menjadikan China sebagai negara pemberi pinjaman potensial terkuat di dunia.
Pada tahun yang sama Amerika Serikat justru memasuki zona defisit, dan hal tersebut dipercepat dengan kebijakan invasinya ke Irak yang mengakibatkan krisis ekonomi
parah, ditambah oleh praktek ekonomi/model usaha yang gagal.

Contoh kebijakan yang “kurang demokratis” lainnya namun mampu menjadi solusi permasalahan yang ada misalnya di Bangladesh, saat Mohammad Yunus memperkenalkan kebijakan yang membolehkan masyarakat miskin untuk mendapatkan pinjaman bank tanpa jaminan. Kebijakan ini merupakan pola usaha berbasis “kepercayaan”, dan faktanya telah berhasil mengentaskan ribuan rumah tangga miskin di Bangladesh untuk memasuki kesejahteraanya.


Sejauh ini konsep kebijakan pembangunan di dunia, khususnya copy paste yang disarankan negara-negara maju ke negara berkembang adalah menekankan kepada pembangunan finansial/ekonomi atau pembangunan yang memiiki prestasi ekonomi. Banyak negara-negara berkembang yang fokus pada capaian ekonomi malah menjadi korban dari krisis-krisis ekonomi yang dialami, karena mereka tidak memiiki kesiapan menghadapi itu, mereka tidak memiliki kelenturan/daya lentur terhadap hal ini, karena mereka lupa dengan asset sosial. Bahwa kuatnya sebuah negara bukan hanya karena modal ekonomi yang besar, tapi juga modal sosial yang kuat.  Teori & konsep pendekatan ekonomi yang menjadikan finansial/ekonomi sebagai indikator kemajuan pembangunan sangat membahayakan. 



to be continue..

NK - "Earth Hails"
READ MORE - Algoritma Kebijakan Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik