Social Icons

Pages

Minggu, 16 Desember 2012

Coretan I: Kapitalisme, Liberalisme, atau apapun namanya

Tahapan-tahapan evolusi dalam pembangunan termasuk di Indonesia telah melaju dengan pasti. Orla, Orba, Reformasi dst; kabinet-kabinet turun dan naik, pasang dan copot dst. Desentralisasi menghantam dan merambah kuat. Dan cukup nyata juga mengarah pada globalisasi, liberalisme, imperialisme, sebuah pasar bebas. Wujud kapitalisme yg terus menguat. Semua proses tersebut termaktub dalam payung 'globalisasi', sebuah gerakan yg 'istilah' nya terus bergulir dan menguat di era 90-an sampai sekarang. Berbagai istilah dan isme mengikuti dan mensupportnya.

Perdana Menteri Inggris, Tony Blair (dari Partai Buruh), yg juga gencar mengkampanyekan solusi "the third way" bersama Anthony Giddens, dalam sebuah konferensi Kantor Berita Rupert Murdoch, 1995, mengungkapan: "..globalisasi adalah perubahan sifat dari negara-bangsa sejalan dengan semakin kaburnya kekuasaan dan semakin keroposnya perbatasan. Perubahan teknologi memangkas kekuasaan dan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan perekonomian dalam negerinya agar bebas dari pengaruh luar." (David Yaffe, "the Politics and Economics of Globalisation", First Published Fight Racism! Fight Imperialisme!). World Investment Report, 1995, melihat ini sebagai eulogy, mengatakan: "dimungkinkan oleh kerangka kebijakan politik liberal yg semakin pesat, dimungkinkan oleh perkembangan teknologi canggih dan didorong oleh kompetisi, semakin membentuk ekonomi dunia saat ini. Investasi asing langsung (FDI) melalui perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), memainkan peran yg sangat penting dalam menghubungkan perekonomian nasional, dan membangun sistem produksi internasional yg terintegrasi sebagai inti ekonomi dunia".

Sebuah dekade keterbukaan dalam arus keuangan, teknologi informasi dan tenaga kerja. Yang oleh kaum kapitalis dianggap sebagai cara yg paling efisien utk mendistribusikan kemakmuran dan kesejahteraan pada tingkat global. Padahal yg pasti adalah mendistribusikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi para pemilik modal, bagi para borjuis!, akses rakyat semakin terkebiri dengan pasti oleh sistem-sistem keuangan, birokrasi dan legislasi-legislasi, serta persaingan-persaingan yg katanya sehat dan mampu memacu semangat hidup ekonomi utk lebih sejahtera. Saya hanya melihat dalam bentuk lain bahwa rakyat/masyarakat semakin menjadi alat bagi kesenangan-kesenangan para pemilik modal, target bisu dalam peta, yg bisa dibentuk dan diarahkan, direkayasa melalui kekuatan-kekuatan teknologi, khususnya informasi dan komunikasi utk semakin mensejahterakan para pemiliki modal itu sendiri.Menciptakan kesejahteraan (bias) disatu sisi utk melahirkan kemiskinan-kemiskinan akut dalam berbagai bentuk, yg lagi-lagi memberikan keuntungan terus-menerus bagi para 'kapitalis' ini. Pembodohan elit dan eksklusif, yg dengan smart telah mampu utk menjadikannya justifikasi bagi gerakan/program-program sebagai pemberi keuntungan besar lainnya.

Beberapa tahun yg lampau, 1998, Kavaljit Singh, telah menganalisa dan sangat relevan, dlm 'Memahami Globalisasi Keuangan Panduan untuk Memperkuat Rakyat, Yakoma-PGI, Jakarta", mengatakan bahwa proses tersebut dewasa ini ditandai oleh 5 perkembangan pokok:
1. Pertumbuhan transaksi keuangan internasional yg cepat
2. Pertumbuhan perdagangan yg cepat, terutama perusahaan-perusahaan multinasional
3. Gelombang investasi asing langsung (FDI), yg mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan multinasional
4. Timbulnya pasar global
5. Penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yg cepat dan meliputi seluruh dunia.

Analisa Singh tersebut semakin nyata nampak di warna pembangunan kita. Perlindungan hak hidup lebih baik bagi 'bukan' para pemegang/pemilik modal (sebut saja rakyat) semakin bias, program-program yg ada hanya menjadi iklan-iklan penyegar indera, hanya sesaat dan manipulasi, sebagai penikmat, sebagai pelupa sesaat dari derita yg panjang, dan semakin panjang serta berat sesudahnya. "internasional", baik sebagai suatu keadaan, areal, maupun kepentingan semakin memiliki peran dominan dalam meretas langkah dan proses pembangunan selanjutnya. Dan semua itu seringkali tanpa melihat warna, nilai dominan, dan kondisi realita dari negara bersangkutan. Kelompok menengah, telah menjadi katalisator yg lagi-lagi pada ujung-ujungnya malah lebih menguntungkan kelompok pemiliki modal/yg berkuasa.Mereka telah menjadi para pemain dan pekerja yg sangat diandalkan oleh sistem ini. Pembentukan kelompok-kelompok kepentingan Dunia, regionalisasi, seperti EEU atau MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), NAFTA (The North American Free Trade Area), APEC (Asian Pasific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade Area) dll, semakin menguatkan semua kendali ekonomi kapitalis ini, semakin membuat megap-megap kelompok marginal/rakyat kecil yg memang belum siap dan belum dibekali utk menghadapi semua itu. Kepentingan Bilateral, Regional, dan Internasional menjadi trend yg mesti diikuti, kalo gak mau disebut "gak gaul" pada konteks tersebut. Kepentingan Nasional?? yg menyeluruh dan membumi?? katanya akan terbawa koq, dengan sendirinya meningkat juga kesejahteraanya, terdistribusikan kemakmurannya sampai ke mereka. Itu kata para pengkhotbah kapitalis itu, kata para ulama liberalis itu. Kalau bagi Kang Udin di kampung salah satu desa di Garut, bagi mbok tukiyem di gunung kidul, dan bagi para wong cilik, yg termarginalkan, mereka hanya tau dan merasakan beli bahan makanan pokok, sekunder, pendidikan, kesehatan, akses sosial dan hukum, dst, semakin sulit.

Semua proses liberalisme, kapitalisme atau apapun namanya tersebut, telah memberikan dampak-dampak diantaranya:
1. Berkurangnya kontrol negara (dan rakyat) terhadap perusahaan multinasional dan transnasional serta penanaman modal asing, terjadi ekspor keuntungan yg tidak terbatas.
2. Swastanisasi asset publik, seperti perusahaan negara dan layanan publik lainnya yg dianggap tidak efisien dan tidak mampu bersaing dalam era-pasar bebas. Swastanisasi ini berarti menangani urusan publik dengan orientasi keuntungan. Rakyat miskin?? itu prioritas setelahnya bung!
3. Pemberian insentif bagi penanaman modal asing, dalam bentuk penyediaan tenaga kerja murah, keringanan pajak, dan fasilitas lainnya. Upaya menarik investasi modal internasional seringkali dilakukan atas tanggungan rakyat banyak, yg kehilangan berbagai fasilitas publik.
4. Eksploitasi sumberdaya alam yg lebih besar, karena dihapusnya hambatan terhadap daya jangkau perusahaan besar. Sangat terasa dalam bidang pertambangan dan energi, serta kehutanan.
5. Meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan, akibat 'persaingan bebas' antar kekuatan yg tidak seimbang. Bukan hanya rakyat kecil yg menderita, tetapi juga industri-industri domestik yg memiliki daya saing lemah dengan perusahaan multinasional.

Semua telah menjadi gerakan, aksi, reaksi, program, aktivitas-aktivitas yg sistemik. Suatu sistem yg semakin kuat dan mumpuni, karena didukung oleh para aktor pembangunan, para eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yg membuat mereka semakin memiliki asset, akses, kesejahteraan dan kemakmuran. Bagaimana dengan program-program dukungan terhadap rakyat/masyarakat luas seperti penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesehatan, pendidikan rakyat dll?? Ya, sebuah sempalan-sempalan yg indah dan menarik, tapi tidak sebuah sistem yg komprehensif. Selalu diibatasi waktu dan kondisi, pencapaian-pencapaian absurd dan tidak benar-benar menancap dalam lapisan terbawah dari masyarakat, sebagai yg 'menderita'. Sustainability/keberlanjutan terus-menerus jadi target pencapaian, yg juga sekaligus tetap menjadi "harapan" utk nyata. Bagaimana tidak, wong semua itu berada dibawah sistem dengan tujuan akhir yg tidak begitu..



NK - "Earth Hails"

Tidak ada komentar: