Social Icons

Pages

Kamis, 07 Agustus 2014

Algoritma Kebijakan Pembangunan di Ranah Pelayanan Publik

Kebijakan terkait masyarakat atau terkait orang banyak bisa disebut sebagai  kebijakan publik.  Indonesia sebagai salah satu negara berkembang seringkali menetapkan konsep kebijakan publik nya mengacu kepada negara maju (sebut saja diantaranya Amerika, Eropa, Australia & Jepang). Meskipun dipahami bahwa karakteristik dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia tentunya tidak sama dengan negara-negara maju tersebut, baik dari segi SDA, SDM, culture, politik dll. Namun fakta menunjukkan bahwa mengacu kepada negara-negara maju dalam arti “copy paste” sudah menjadi ‘kelatahan ‘politik & administrasi-birokrasi negara.  Apakah betul lembaga-lembaga finansial dunia yang concern pada konteks pembangunan seperti IMF & World Bank memiliki contoh-contoh keberhasilannya dari negara-negara maju itu sesuai dengan tekstur Indonesia? Bagi yang berakal sehat & cenderung objective tentu saja akan mengatakan “tidak”.


Diawal terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, Indonesia mengikuti saran dari IMF untuk mampu menghindar dari krisis ekonomi yang parah. Tapi apa yang terjadi? Indonesia semakin terjerumus kedalam krisis yang dalam dan berkepanjangan. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1997, tentu kita ingat, saat Pemerintah Indonesia mengkikuti saran Bank Dunia untuk melakukan privatisasi perusahaan air minum Jakarta, dan kebijakan yang disarankan World Bank tersebut “gagal” setelah 12 tahun melaksanakan Public Private Partnership (PPP) atau kemitraan swasta publik. Layanan air minum jakarta masih dikendalikan pemerintah, berbeda dengan Singapura. Sisi kesiapan dari sasaran kebijakan seringkali diabaikan, dan konteks lain yang sangat sering dilupakan dan menjadi penyebab kegagalan adalah pengabaian terhadap inovasi lokal.

Di Timur Tengah, model demokrasi Barat yang diterapkan di Irak dan Afghanistan telah menyebabkan negara tersebut menjadi “bangsa yang gagal” (Chomsky, 2005). Penekanan disini bukan pada buruknya kebijakan berbasis demokrasi yang disarankan oleh pemikiran Barat terhadap negara-negara berkembang, akan tetapi ebih kepada “tidak kontekstual & tidak relevan” nya model tersebut bagi tekstur yang dimiiki sebagian besar atau beberapa negara berkembang.

Malaysia melakukan pendekatan berbeda dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi tersebut, dan berhasil keluar dari krisis dengan cepat. Singapura juga melakukan pendekatan kebijakan publik yang berbeda, dan mejadikan Singapura sebagai negara paling maju & stabil di Asia Tenggara, bahkan menjadi pusat bisnis dunia. Malaysia & Singapura merupakan salah satu contoh negara yang tetap mengedepankan kekhasan lokalitas yang mereka miliki untuk menetapkan kebijakan pembangunan. Singapura misalnya, mereka merupakan negara maju yang “kurang demokratis” , tapi menjadi negara yang maju, begitu juga dengan Malaysia. Tetap ada pragmatisme kebijakan yang mereka lakukan dalam melakukan Pendekatan konsep pembangunan. Pragmatisme kebijakan (Austin, 2001) menyimpulkan bahwa sebaiknya ada model kebijakan publlik berbeda yang diterapkan agar berhasil membangun negara-negara berkembang.

Contoh lain misalnya China, yang merupakan sebuah negara komunis, dan menjadi lawan dari setiap model kebijakan yang disarankan negara-negara yang telah maju/Barat. Kebijakan China bersifat “pragmatisme”, seperti yang dinyatakan oleh Mao bahwa “tidak masalah apakah kucingnya berwarna merah atau putih, selama kucing dapat menangkap tikus”. Saat ini bisa dilihat, China dengan model kebijakan yang kurang demokratis tersebut telah mengarah menjadi ekonomi dunia terbesar di masa yang akan datang, dengan cadangan devisa asingnya pada Januari 2011 mencapai sekitar US$ 2,85 triliun, jauh diatas Jepang US$ 1,2 triliun, Korea Selatan US$ 292 miliar, Singapura US$ 226 miliar. Sejak tahun 2007 sebenarnya China telah menjadi pemilik cadangan devisa asing terbesar di dunia, dengan peningkatan yang pesat. Misalnya di tahun 2010 cadangan devisa asing China sekitar US$ 1,4 triliun, meningkat US$ 2,85 triliun di tahun 2011 (dalam waktu 1 tahun). Hal ini menjadikan China sebagai negara pemberi pinjaman potensial terkuat di dunia.
Pada tahun yang sama Amerika Serikat justru memasuki zona defisit, dan hal tersebut dipercepat dengan kebijakan invasinya ke Irak yang mengakibatkan krisis ekonomi
parah, ditambah oleh praktek ekonomi/model usaha yang gagal.

Contoh kebijakan yang “kurang demokratis” lainnya namun mampu menjadi solusi permasalahan yang ada misalnya di Bangladesh, saat Mohammad Yunus memperkenalkan kebijakan yang membolehkan masyarakat miskin untuk mendapatkan pinjaman bank tanpa jaminan. Kebijakan ini merupakan pola usaha berbasis “kepercayaan”, dan faktanya telah berhasil mengentaskan ribuan rumah tangga miskin di Bangladesh untuk memasuki kesejahteraanya.


Sejauh ini konsep kebijakan pembangunan di dunia, khususnya copy paste yang disarankan negara-negara maju ke negara berkembang adalah menekankan kepada pembangunan finansial/ekonomi atau pembangunan yang memiiki prestasi ekonomi. Banyak negara-negara berkembang yang fokus pada capaian ekonomi malah menjadi korban dari krisis-krisis ekonomi yang dialami, karena mereka tidak memiiki kesiapan menghadapi itu, mereka tidak memiliki kelenturan/daya lentur terhadap hal ini, karena mereka lupa dengan asset sosial. Bahwa kuatnya sebuah negara bukan hanya karena modal ekonomi yang besar, tapi juga modal sosial yang kuat.  Teori & konsep pendekatan ekonomi yang menjadikan finansial/ekonomi sebagai indikator kemajuan pembangunan sangat membahayakan. 



to be continue..

NK - "Earth Hails"

Tidak ada komentar: