KONSULTASI
BILATERAL ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN DEPARTEMEN
KEHAKIMAN AMERIKA SERIKAT, TENTANG ISSUE TRAFFICKING MANUSIA, KHUSUSNYA TATA
CARA PENANGANAN SHELTER BAGI KORBAN TRAFFICKING
18
– 26 April 2014
A. RASIONALISASI
Persoalan dan atau
permasalahan sosial dari tahun ke tahun selalu bertambah, seiring semakin
kompleknya kehidupan manusia. Salah satu persoalan yang perlu menjadi perhatian
kita adalah tentang Human Trafficking, atau fenomena perdagangan manusia. Buruh
paksa, penghambaan, pekerja seks dan kasus-kasus seputaran trafficking semakin mengemuka,
termasuk di Indonesia.
Data dari Kantor
Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Orang di Amerika Serikat (U.S.
Department of Health and Human Service, and U.S. Department of Justice, Free
for Slaves) melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 600.000 – 800.000 laki-laki,
perempuan dan anak diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan akan eks dan buruh.
Mereka biasa diselundupkan melewati perbatasan-perbatasan internasional.
UNICEF Jakarta pun mengelurkan
data yang menunjukkan angka mencengangkan, sekitar 40.000 – 70.000 orang
Indonesia per-tahunnya dikirim menjadi pekerja seks komersial di Malaysia,
Singapura, Taiwan dan Australia. Kedutaan Besar RI di Malaysia pun mencatat
angka yang fantastis, pada tahun 2001 terdapat 2.112 kasus, tahun 2002 terdapat
2.155 kasus, tahun 2005 terdapat 2.158 kasus. Sebuah badan penelitian di
Malaysia menunjukkan angka yang lebih mengejutkan lagi, bahwa sekitar 6.705 orang
Indonesia bekerja sebagai pekerja seks komersial di Malaysia (Hamim &
Agustinanto dalam Sulistyowati, 2006).
Menurut data dan informasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia sudah menjadi perusahaan
kriminal terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan narkoba. Dari bisnis
ini para pelaku dapat meraup laba sekitar USD 7 miliar setiap tahunnya. Laporan
Asia Development Bank (ADB), memperkirakan satu hingga dua juta manusia
diperjualbelikan setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahka hingga tahun 2008
diperkirakan keuntungan yang didapat oleh traffickers mencapai USD 40 miliar.
Salah satu korban trafficking yang kini menjadi pusat perhatian adalah para
pekerja migran, terutama para pekerja migran perempuan. Bank Dunia menyebutkan
bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan. Namun secara
rata-rata 1 dolar yang dihasilkan oleh pekerja laki-laki, perempuan hanya
menghasilkan 80 sen. Ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan
sangat tidak sebanding dengan tingginya resiko perempuan menjadi korban human
trafficking dibandingkan laki-laki. Realitas ini sangat jelas terpampang dengan
apa yang terjadi kepada Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia dalam percaturan
tenaga kerja global selama ini. Hampir 80 persen dari sekitar 6,5 juta pekerja migran
kita adalah perempuan. Fakta ini memunculkan stigma dan persepsi di masyarakat,
tenaga kerja Indonesia (TKI) identik dengan tenaga kerja wanita (TKW). Lebih
spesifik lagi identik dengan pembantu rumah tangga (PRT). Sebagian dari mereka
berpendidikan rendah sehingga banyak terserap ke sektor informal terutama PRT.
Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses
terhadap permodalan membuat banyak perempuan, terpaksa menjadi TKW. Sebagian
dari mereka ada yang berhasil menjadi tulang punggung keluarga, namun tidak
sedikit yang menjadi korban human trafficking(perdagangan manusia)
dan beragam bentuk perbudakan lainnya di negeri orang.Hampir setiap
hari kita bisa mendapatkan kabar duka dari para pekerja migran kita.Mulai dari
pelecehan seksual, penyiksaan baik fisik maupun mental yang menyebabkan
depresi, cacat, sakit, gila bahkan meninggal dunia. Belum lagi pelanggaran
hak-hak lainnya seperti gaji yang tidak dibayar dan tidak adanya waktu libur.
2012, Migrant Care Indonesia memperkirakan sebanyak 43 persen atau sekitar 3
juta dari total buruh migran Indonesia adalah korban human trafficking.
Data ini tidak hanya mencakup pekerja migran yang bekerja secara illegal namun
juga mereka yang secara resmi mengikuti mekanisme pemerintah alias pekerja
migran legal. Korban perdagangan manusia sangat rawan terhadap eksploitasi,
baik secara seksual maupun kerja paksa. Sementara itu, secara umum Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat,
sepanjang tahun 2010 hingga 1 November, kasus penganiayaan yang menimpa TKI
kita cukup tinggi. Yakni sebanyak 3.835 di 18 negara tujuan pengiriman. Ini
yang berhasil didata. Kasus di lapangan dipastikan jauh lebih besar.
Data
yang lebih mencengangkan tentang kasus human trafficking di Indonesia dirilis
oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2010 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human
trafficking, negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak
dan orang-orang yang menjadi sasaran human trafficking, khususnya
prostitusi dan kerja paksa. Ini terjadi karena migrasi yang berlangsung di
Indonesia adalah migrasi yang tidak aman, sehingga trafficking seakan menjadi
bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri. Mulai dari pemalsuan dokumen,
pemalsuan identitas, umur, kemudian akses informasi yang tidak sampai ke basis
calon buruh migran sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.
Martino Sardi (2006)
mengungkapkan bahwa hak-hak para korban sering dilecehkan, mereka hanya
diperlakukan sebagai objek transaksi ekonomi, dan keuntungan dari hasil
penjualan tubuhnya bukan diperuntukkan bagi para korban, akan tetapi dirampas
oleh para penjual. Korban human trafficking rata-rata menimpa anak-anak dan
perempuan. Mereka banyak digunakan sebagai buruh dan penjaja seks.
Beberapa faktor menjadi
penyebab terjadinya human trafficking, diantaranya adalah faktor ekonomi,
pendidikan yang rendah, faktor budaya, globalisasi, modernitas, sampai pada
lemahnya pengawasan pemerintah. Faktor ekonomi dan pendidikan ditengarai
sebagai penyebab terbesar. Hal ini terbukti dari profile para korban yang
rata-rata berasal dari ekonomi menengah ke bawah dan pedidikan yang rendah. Rata-rata
mereka tidak memiliki pekerjaan yang mampu menopang hidupnya secara lebih baik.
Beberapa upaya pencegahan
bisa dilakukan melalui penumbuhan kesadaran keluarga (khususnya para orang tua
dan korban) terkait tindak trafficking dan menjauh dari hal-hal terkait
tersebut, melakukan sosialisasi terkait trafficking di sekolah-sekolah dan
instansi-intansi pemerintah maupun kelembagaan di masyarakat, memberikan
perlindungan hukum kepada para korban dan membawa pelaku ke pengadilan.
Kementerian
Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial diantaranya menangani
korban trafficiking perempuan. Selain program dan kegiatan regular, penanganan
korban trafficking yang ditangani Direktorat RSTS melalui Rehabilitasi Sosial,
Reintegrasi Sosial dan Pemulangan, beberapa fakta & data highlight
penanganan korban trafficking yang telah ditangani Direktorat RSTS diantaranya
adalah:
1. Pada Agustus 2013, Direktorat RSTS bersama
IOM menerima 17 korban trafficking dari Thailand dan Myanmar. Mereka ditemukan
di Kabupaten Aru, Provinsi Maluku, dan telah dirujuk ke PSBK Pangudi Luhur
2.
Korban trafficking yang ditangani RSTS pada
umumnya di eksploitasi di diskotik, karoeke, tempat massage/pijat, dan pembantu
rumah tangga.
3. Data yang dirilis International
Organization for Migration (IOM) Indonesia tahun 2011, menunjukkan Indonesia
menempati peringkat teratas dengan jumlah 3.943 korban perdagangan manusia.
Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, yakni sebanyak 920
kasus atau 23,33%.
4. Sejak tahun 2007 sampai sekarang,
Kementerian Sosial melalui RPSW telah menangani 275 korban trafficking perempuan,
baik yang telah di reintegrasi kepada keluarganya ataupun yang dirujuk ke
lembaga terkait.
Sebagai
ancaman yang sangat serius, human trafficking terutama pada perempuan harus
diantisipasi melalui upaya dan kerjasama yang holistic. Perlu ada burden
sharing pengawasan dan penanganan yang lebih baik antara pusat dan
daerah untuk menekan masalah TKW hingga ke level paling bawah di samping
kerjasama internasional yang intens dengan semua pihak. Selain segera
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya, penting pula untuk membuat MoU dengan sejumlah negara
tujuan terutama negara yang memiliki banyak catatan kasus praktik human
trafficking seperti Malaysia dan Arab Saudi. Aspek hukum ini harus
ditindaklanjuti dengan peningkatan daya saing dan kompetensi TKW untuk
meningkatkan posisi tawar mereka saat bekerja di luar negeri. Termasuk
pembekalan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban
mereka sebagai pekerja migran yang dilindungi oleh undang-undang. Selain
sejumlah langkah strategis di atas, persoalan paling mendasar yang harus
dituntaskan adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi terhadap
perempuan karena inilah akar masalah yang sesungguhnya. Perempuan perlu diberi
akses yang lebih luas agar bisa mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan
mengambil peran yang lebih penting dalam pembangunan. (Tulisan telah dimuat di
Rubrik Opini Sinar Harapan, Jumat 13 April 2012)
Perdagangan
manusia itu meliputi segala transaksi jual beli terhadap manusia. Menurut
Protokol Palermi pada ayat tiga, definisi aktivitas transaksi meliputi:
perekrutan, pengiriman, pemindah-tanganan, penampungan atau penerimaan orang;
yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk
pemaksaan lainnya seperti peculikan, muslihat atau tipu daya, penyalahgunaan
kekuasaan, penyalahgunaan posisi rawan, menggunakan pemberian atau penerimaan
pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent)
dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi
meliputi setidaknya-tidaknya pelacuran (eksploitasi prostitusi) orang lain atau
lainnya seperti kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik
serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Dalam hal
perdagangan anak yang dimaksud adalah setiap orang yang umurnya kurang dari 18
tahun.
Salah satu hal yang sangat penting bagi korban
perdagangan orang yang berhasil diselamatkan adalah perlindungan, dimana korban
sangat membutuhkan rumah aman agar korban merasa aman dan terlindungi, selain
itu korban juga melalui layanan shelter korban bisa memperoleh pelayanan
psikososial agar ia dapat pulih dari trauma yang dideritanya. Karena itu
shelter atau rumah aman merupakan bagian penting yang terintegrasi dalam
program rehabilitasi social. Kementerian social RI yang dimandatkan dalam
Peraturan Presiden No. 69 tahun 2008 dimana Kementerian Sosial sebagai ketua sub
gugus tugas Rehabilitasi Sosial, pemulangan dan reintegrasi social bagi korban.
Kegiatan ini merupakan kegiatan bilateral antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika serikat khususnya dalam bidang
penanggulangan perdagangan orang. Kegiatan akan
di fokuskan di dua tempat, yaitu Washington dan San Fransisco.
B. DELEGASI
Delegasi Kementerian Sosial terdiri dari:
1. Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial sebagai Koordinator Delegasi
2.
Kepala Sub-Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
untuk Wanita Tuna Susila dan Korban Trafficking Perempuan Ditjen Rehabilitasi
Sosial Kementerian Sosial RI, Bapak Esa Sumantri
3.
Perwakilan dari Pemerintah Daerah (Jawa Barat), Bapak
Barnas Adjidin
4. Perwakilan Ditjen Rehsos Kemensos sekaligus sebagai penterjemah Delegasi Kementerian Sosial, Nursyamsu Kusuma
C. KEGIATAN KONSULTASI BILATERAL
KEGIATAN DI WASHINGTON
1.
Pertemuan,
19 April 2014
Pertemuan Koordinator Kemensos (Sekretaris Jenderal) dengan
pihak dari KBRI, membicarakan terkait tujuan kegiatan dan sharing non formal
terkait program-program terkait lainnya, serta peluang-peluang dukungan dari KBRI
kedepan khususnya terkait dengan issue
perdagangan orang di tanah air.
2. Pertemuan
21 April 2014
a. U.S. Attorney’s Office (Bagian dari DOJ) for the
District of Columbia. Presenter: Jelahn Stewart, Chief, Victim Witness
Assistant Unit.
Pada sesi ini para delegasi
mendapatkan informasi dari 2 narasumber dimana keduanya memiliki peran yang saling
menguatkan yaitu antara penegak hukum dan pendamping saksi dan korban TPPO
senantiasa bekerjasama sehingga proses hukum dapat berjalan baik. Bentuk
kerjasama yang paling significant diantara U.S. Attorney dengan Victim Witness
Assistant Unit adalah satu pihak yaitu Attorney aktif menjalankan peran dalam
pencegahan, penyelamatan korban dan proses hukum bagi pelaku, sedangkan
Assistant unit lebih banyak mengambil peran bagaimana melindungi korban dan
saksi korban, memberikan pendampingan psikologis dan mengaitkan korban dengan
para penyedia layanan yang dibutuhkan untuk membantu proses pemulihan korban.
Dengan demikian korban dan saksi korban dapat memberikan kesaksian dengan baik.
b. Polaris Project. Presenter: Victoria Hougham,
Client Services
Polaris project adalah sebuah
Lembaga Swadaya Masyarakat yang perannya lebih pada sebagai manager kasus.
Polaris menjembatani korban untuk mengaitkan dengan lembaga-lembaga penyedia
layanan baik yang dikelola oleh pemerintah maupun non pemerintah.
Lembaga ini tidak secara
langsung menangani kasus, hanya merupakan pintu masuk untuk melaporkan
kasus-kasus TPPO yang ditemukan baik oleh kepolisian maupun laporan dari
masyarakat, kemudian Polaris yang akan mengkomunikasikan kasus tersebut dan
merujuk kepada lembaga/pihak yang terkait sesuai dengan kebutuhan korban dan
saksi korban.
Menurut data dan informasi
Polaris juga telah menangani beberapa kasus TPPO dimana korbannya adalah orang
Indonesia yang diperdagangkan ke Amerika Serikat sebagian besar dari mereka adalah
korban TPPO untuk dieksploitasi sebagai pembantu rumah tangga dan mereka
sebagian besar adalah Perempuan. Akan tetapi beberapa diantaranya tidak dapat
diproses secara hukum karena tidak adanya komitmen dari lawyer.
3. Pertemuan
Tanggal 22 April 2014
a. US Department of Homeland Security, Homeland
Security Investigations (HSI), Washington. Presenter: Donna Hatfield, HSI
National Program Manager for the Victim Assistance Program. Dave Meadows, HSI
Special Agent. DHS bekerjasama dengan HSI (Homeland Security Investigation). U.S.
Department of State, Office to Monitor and Combat Trafficking in
Persons/Justice Trafficking in Persons. Presenter: Marry Ellison, Public
Engagement Team. U.S. Department of Justice, National Security Division, Office
of Justice for Victims of Overseas Terrorism. Presenter: Heather Cartwright,
Director, and Patsy Spier, Victim Outreach Specialist
Program mengarah kepada 3P, yaitu Protect, Prevent,
& Pursue.
Selain itu juga HSI memiliki program iGuardian. Para
predator rata-rata menemukan korban didunia maya. Kebanyakan dari para remaja
tidak mengetahui bahayanya dunia maya. iGuardian mencoba melindungi ini.
Selain itu HSI juga memiliki Virtual Global Taskforce,
yang fokus melakukan perlawanan terhadap seksual komersial pada anak-anak.
Selain itu juga membentuk peer support program untuk anak. HSI juga memiliki
program-program dinamis lainnya sperti ICE Hero Corps. Pendekatan program
adalah victim center (program berpusat pada korban), dan hal ini sesuai dengan amanat
undang-undang yang ada di Amerika.
Perbedaan di USA & Indonesia,
diantaranya adalah bahwa di Amerika yang menangani shelter/rumah
perlindungan/panti adalah NGO, sedangkan di Indonesia masih pihak pemerintah.
Disisi lain Departemen Kehakiman US memiliki dana hibah untuk penanganan human
trafficking melalui LSM-LSM yang mendukung arah perubahan kebijakan kepada
kebijakan publik. Kemitraan antara pemerintah, publik dengan swasta pun dilakukan
di US.
Pada tahun 2000, US mengesahkan UU TPPO
untuk Federal, dengan fungsi utama dilomatik & menyiapkan/menyediakan dana
bagi korban-korban trafficking diseluruh dunia.
Selain itu US Government melakukan
kampanye dengan MTV dan stasiun Televisi lainnya, berhubungan dan bekerjasama dengan
para peneliti dan para think thank strategis, bekerja juga dengan satgas-satgas
diketuai oleh Menlu US Jim Terry. Kolaborasi sistemik dengan Department
Kehakiman, Department Human Health Services, Department Keamanan Dalam Negeri, dalam
program Partnership for Freedom.
Diantara hak korban yang penting adalah participation
in the criminal justice. Siapakah korban trafficking itu? Menurut HSI adalah
orang yang mengalami kerugian dan orang yang mengalami cedera bahkan kematian.
23 April 2014: Travel to Washington Dulles
Airport for flight to San Franisco, CA
KEGIATAN DI WASHINGTON DC
4. Pertemuan
24 April 2014
a. U.S. Department of Homeland Security, HSI.
Presenter: Christopher Johnson & Reye Diaz, HSI Supervisory Special Agent
Kasus-kasus terkait TPPO dan setelah ditelaah memang
adalah TPPO, maka akan dilimpahkan ke Pemerintahan Federal. DHS pun melakukan
investigasi sampai ke tempat-tempat lokalisasi. Jenis narkoba yang ada di
tempat-tempat lokalisasi atau pelacuran yang melibatkan korban trafficking
biasanya jenis Ketamine, yang memiliki dampak yang menyenangkan bagi korban
trafficking, sehingga perempuan-perempuan yang dilacurkan dengan cara paksa
sekalipun tidak akan merasa sakit, tapi hanya diliputi kesenangan saja.
Traffcikers memiliki pola-pola rekrutmen yang
berkesinambungan, karena memang mereka membutuhkan secara terus menerus para
pelacur baru.
Konsumen selalu meminta “korban” yang baru, menunjukkan bahwa
permintaan/kebutuhan terhadap ‘korban’ sangat tinggi. Sehingga sirkulasi/perputaran
tersebut memerlukan supply yang besar yang harus dipenuhi dari berbagai
wilayah.
Skenario penyidikan yang dilakukan oleh DHS adalah:
initial work-up, surveillance, use of USA, Trash Runs/Mail covers of target
locations, preservation letters, wall stops/enforcement action, telephone data,
interagency coordination, foreign coordination, take down phase.
Beberapa kasus trafficking di Los Angeles
dan sekitarnya terbongkar karena laporan dari tetangganya. Kasus biasanya
menimpa PRT (pembantu ruma tangga). Korban biasanya menyampaikan pesan berupa
surat atau lainnya kepada tetangga dari majikannya, atau tetangga tersebut
melihat hal-hal yang tidak lumrah yang terjadi pada korban.
b. Asian Pacific Islander Legal Outreach. Presenter:
Cindy Liou, Staf Attorney.
Disampaikan bahwa API saat ini sedang menangani 15
kasus orang korban trafiking dari Indonesia. API didirikan pada tahun 1975, dan
merupakan organisasi keadilan sosia berbasis masyarakat. API meyediakan
pelayanan legal langsung untuk semua imigran dan populasi ethnic, tapi
targetnya adalah masyarakat kepulauan asia pasifik.
c. San Fransisco Asian Women’s Shelter (AWS). Presenter:
Hediana Utari, Community Projects Coordinator. Tiffany Tan, Children’s
Advocate. Sabrina Fitranty, Indonesian Language Advocate.
Shelter ini menangani korban trafiking perempuan dari
Asia. Shelter sangat dirahasiakan. Dapat bantuan dari pemerintah selama 8
bulan, asuransi kesehatan, transportasi bus berupa tiket bus.
Jika mereka/korban trafficking yang telah sehat dari
shelter ingin bekerja, maka shelter/petugasnya mengantar korban untuk melamar
pekerjaan (biasanya di restoran, mall, dll), dengan nama samaran dan dibilang
korban sebagai sudara/teman dari petugas shelter yang mengantar.
Melakukan case management berupa first
contact, kemudian stabilization, independent living, emotional support,
reintegration into community.
Selama korban atau mantan korban
trafficking telah mendapat pekerjaan, berkumpul dengan orang-orang yang baik,
maka pendamping sosial/peksos mundur.
5.
25 April 2014
a. US Attorney’s Office for Northern District of
California, U.S. Department of Justice – Federal Bureau of Investigations.
Presenter: Candace Kelly, Chief Special Prosecutions and National Security
Unit. Kevin Sherburne, Senior Supervisory Agent
Definisi traffcking/TPPO menurut FBI adalah penipuan,
paksaan dan pemerasan. TPPO terbagi/terdiri dari sexual servitude, domestic
servitude, forced labor.
FBI memiliki kantor-kantor diseluruh 50 negara bagian
USA, dan perwakilan diluar negeri, termasuk DOJ seperti Terry di Indonesia.
Aksi perlindungan korban trafficking berdasar kepada
UU TPPO US tahun 2000 adalah:
1.
Increase penalties, include death penalty
2.
Victim assistance
3.
Elimination/abuse requirements
FBI mission is partnership with:
1.
Community
2.
Services providers
3.
Law enforcement
4.
Medical
5.
Code enforcement (e.g. Department of
Labor)
6.
Media
Tahapan dari Trafiking menurut mereka
adalah:
1.
Recruitment
2.
Transportation and entry
3.
Delivery and marketing
4.
Exploitation
FBI selalu mencari mitra atau bermitra
dalam setiap stages tersebut.
CST (Child Sex Tourism)
Merupakan salah satu program yang di kembangan
Department of Justice melalui FBI, dengan latar belakang maraknya industri seks
yang mempekerjakan usia anak di wilayah ASIA, khususnya Asia Tenggara. Disisi
lain juga banyak pekerja seks anak di Amerika yang berasal dari wilayah Asia.
Program ini diinisiasi pada tahun 2008, sebagai tindak lanjut dari The Protect
Act 2003. Menurut mereka, negara-negara terbesar untuk CST adalah: Thailand,
Kamboja, dan Philiphina.
D. BEST PRACTICES
1. Kerjasama antara penegak hukum dan LSM sangat
penting mengingat kasus TPPO adalah tindak pidana dan di Amerika Serikat kasus
ini merupakan kasus sangat serius, mendapat perhatian secara
khusus dari semua pihak, bahkan telah menjadi agenda prioritas dari Gedung Putih,
dan memperoleh perhatian khusus dari presiden Obama. Mereka melihat ini sebagai isu prioritas bagi
regulasi mereka, baik secara nasional, regional maupun internasional. Task
Force – Task Force (gugus tugas) untuk penanganan TPPO dibentuk, yang mengarah
kepada efisiensi & efektivitas penanganan TPPO. Kecepatan tindakan hukum
terhadap pelaku dan penanganan korban menjadi prioritas.
2. Di Amerika Serikat, kerjasama antara LSM/NGO dan Pemerintah termasuk pihak penegak hukum seperti kepolisian sangat sinergi dan harmonis, satu sama lain saling
membantu dengan spesifikasinya masing-masing. Pemerintah sangat mendukung program penanganan TPPO, hal ini ditunjukkan
dengan mengalokasikan secara khusus
anggaran untuk operasional LSM dan juga pendanaan-pendanaan lain yang terkait
dengan penanganan korban TPPO. LSM dapat mengusulkan bantuan pendanaan pada
instansi terkait sesuai dengan kebutuhan penanganan korban TPPO.
3. Pihak non government, seperti misalnya LSM/NGO di Amerika Serikat, dilibatkan
dalam penetapan rencana program atau regulasi penanganan TPPO. Mereka bisa ikut serta dalam pertemuan-pertemuan kongres untuk memberikan pertimbangan dan masukan terkait isu-isu TPPO di Amerika Serikat.
4. Program yang mengarah pada pencegahan, perlindungan dan pemberdayaan
terhadap korban TPPO sangat kuat di Amerika Serikat. Kemungkinan korban untuk menjadi korban kedua
kalinya atau re-traffick sangat kecil karena pemerintah Amerika Serikat
menyediakan beberapa dukungan atau fasilitas kepada korban seperti green card. Dengan green card, korban bisa bekerja di Amerika Serikat dengan namanya disamarkan, sehingga
korban betul-betul berdaya secara ekonomi dan aman dari
sindikat TPPO.
5. Peran media dan perangkat komunikasi lainnya sangat besar di Amerika
Serikat, dalam upaya mendukung gugus tugas penanganan TPPO. Salah satu tindakan
yang cukup efektif diantarannya adalah para pelaku-pelaku TPPO khusus pelaku eksploitasi
seksual bagi anak-anak, nama dan foto mereka di posting di internet agar semua orang tahu dan itu
merupakan sanksi social.
6. Pelibatan masyarakat untuk turut serta dalam penanganan TPPO di Amerika
Serikat juga sangat jelas. Media dan sarana komunikasi seperti leaflet, pamflet,
spanduk dan lain-lain disebar secara sporadis dan terus-menerus. Selain
memberikan pemahaman terhadap masyarakat terkait TPPO, juga membawa masyarakat
untuk turut peduli dalam penanganan TPPO. Hal ini terbukti dengan banyaknya
kasus TPPO terungkap dari laporan masyarkat.
E.
HARAPAN KEDEPAN
1.
Penguatan Task Force TPPO Indonesia, baik dari segi pembenahan
& pemutakhiran data, SDM, Sarana Prasarana, Sinergi Kerja & regulasi,
maupun Kemitraan strategis dengan pihak terkait di dalam negeri & di luar
negeri
2. Peningkatan capaian kinerja Task Force TPPO melalui
perluasan penjangkauan, kemitraan dan optimalisasi potensi media (tulis maupun
visual, social media, dll wahana tekologi informasi & komunikasi), serta
optimalisasi pelibatan daerah dalam penanganan TPPO.
3.
Peningkatan kerjasama strategis secara regulasi maupun
kegiatan pada konteks teritori nasional, regional maupun internasioal.
NK - "Earth Hails"