Kebijakan terkait masyarakat atau terkait orang banyak bisa
disebut sebagai kebijakan publik. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
seringkali menetapkan konsep kebijakan publik nya mengacu kepada negara maju
(sebut saja diantaranya Amerika, Eropa, Australia & Jepang). Meskipun
dipahami bahwa karakteristik dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia
tentunya tidak sama dengan negara-negara maju tersebut, baik dari segi SDA, SDM,
culture, politik dll. Namun fakta menunjukkan bahwa mengacu kepada
negara-negara maju dalam arti “copy paste” sudah menjadi ‘kelatahan ‘politik
& administrasi-birokrasi negara. Apakah betul lembaga-lembaga finansial dunia
yang concern pada konteks pembangunan seperti IMF & World Bank memiliki
contoh-contoh keberhasilannya dari negara-negara maju itu sesuai dengan tekstur
Indonesia? Bagi yang berakal sehat & cenderung objective tentu saja akan
mengatakan “tidak”.
Diawal terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, Indonesia
mengikuti saran dari IMF untuk mampu menghindar dari krisis ekonomi yang parah.
Tapi apa yang terjadi? Indonesia semakin terjerumus kedalam krisis yang dalam
dan berkepanjangan. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1997, tentu kita ingat,
saat Pemerintah Indonesia mengkikuti saran Bank Dunia untuk melakukan
privatisasi perusahaan air minum Jakarta, dan kebijakan yang disarankan World
Bank tersebut “gagal” setelah 12 tahun melaksanakan Public Private Partnership
(PPP) atau kemitraan swasta publik. Layanan air minum jakarta masih
dikendalikan pemerintah, berbeda dengan Singapura. Sisi kesiapan dari sasaran
kebijakan seringkali diabaikan, dan konteks lain yang sangat sering dilupakan
dan menjadi penyebab kegagalan adalah pengabaian terhadap inovasi lokal.
Di Timur Tengah, model demokrasi Barat yang diterapkan di
Irak dan Afghanistan telah menyebabkan negara tersebut menjadi “bangsa yang
gagal” (Chomsky, 2005). Penekanan disini bukan pada buruknya kebijakan berbasis
demokrasi yang disarankan oleh pemikiran Barat terhadap negara-negara
berkembang, akan tetapi ebih kepada “tidak kontekstual & tidak relevan” nya
model tersebut bagi tekstur yang dimiiki sebagian besar atau beberapa negara
berkembang.
Malaysia melakukan pendekatan berbeda dalam merespon krisis
ekonomi yang terjadi tersebut, dan berhasil keluar dari krisis dengan cepat.
Singapura juga melakukan pendekatan kebijakan publik yang berbeda, dan
mejadikan Singapura sebagai negara paling maju & stabil di Asia Tenggara,
bahkan menjadi pusat bisnis dunia. Malaysia & Singapura merupakan salah
satu contoh negara yang tetap mengedepankan kekhasan lokalitas yang mereka
miliki untuk menetapkan kebijakan pembangunan. Singapura misalnya, mereka
merupakan negara maju yang “kurang demokratis” , tapi menjadi negara yang maju,
begitu juga dengan Malaysia. Tetap ada pragmatisme kebijakan yang mereka
lakukan dalam melakukan Pendekatan konsep pembangunan. Pragmatisme kebijakan
(Austin, 2001) menyimpulkan bahwa sebaiknya ada model kebijakan publlik berbeda
yang diterapkan agar berhasil membangun negara-negara berkembang.
Contoh lain misalnya China, yang merupakan sebuah negara
komunis, dan menjadi lawan dari setiap model kebijakan yang disarankan
negara-negara yang telah maju/Barat. Kebijakan China bersifat “pragmatisme”,
seperti yang dinyatakan oleh Mao bahwa “tidak masalah apakah kucingnya berwarna
merah atau putih, selama kucing dapat menangkap tikus”. Saat ini bisa dilihat,
China dengan model kebijakan yang kurang demokratis tersebut telah mengarah menjadi
ekonomi dunia terbesar di masa yang akan datang, dengan cadangan devisa
asingnya pada Januari 2011 mencapai sekitar US$ 2,85 triliun, jauh diatas
Jepang US$ 1,2 triliun, Korea Selatan US$ 292 miliar, Singapura US$ 226 miliar.
Sejak tahun 2007 sebenarnya China telah menjadi pemilik cadangan devisa asing
terbesar di dunia, dengan peningkatan yang pesat. Misalnya di tahun 2010 cadangan
devisa asing China sekitar US$ 1,4 triliun, meningkat US$ 2,85 triliun di tahun
2011 (dalam waktu 1 tahun). Hal ini menjadikan China sebagai negara pemberi
pinjaman potensial terkuat di dunia.
Pada tahun yang sama Amerika Serikat justru memasuki zona
defisit, dan hal tersebut dipercepat dengan kebijakan invasinya ke Irak yang
mengakibatkan krisis ekonomi
parah, ditambah oleh praktek ekonomi/model usaha
yang gagal.
Contoh kebijakan yang “kurang demokratis” lainnya namun
mampu menjadi solusi permasalahan yang ada misalnya di Bangladesh, saat
Mohammad Yunus memperkenalkan kebijakan yang membolehkan masyarakat miskin
untuk mendapatkan pinjaman bank tanpa jaminan. Kebijakan ini merupakan pola
usaha berbasis “kepercayaan”, dan faktanya telah berhasil mengentaskan ribuan
rumah tangga miskin di Bangladesh untuk memasuki kesejahteraanya.
Sejauh ini konsep kebijakan pembangunan di dunia, khususnya
copy paste yang disarankan negara-negara maju ke negara berkembang adalah
menekankan kepada pembangunan finansial/ekonomi atau pembangunan yang memiiki
prestasi ekonomi. Banyak negara-negara berkembang yang fokus pada capaian
ekonomi malah menjadi korban dari krisis-krisis ekonomi yang dialami, karena
mereka tidak memiiki kesiapan menghadapi itu, mereka tidak memiliki
kelenturan/daya lentur terhadap hal ini, karena mereka lupa dengan asset
sosial. Bahwa kuatnya sebuah negara bukan hanya karena modal ekonomi yang
besar, tapi juga modal sosial yang kuat. Teori & konsep pendekatan ekonomi yang
menjadikan finansial/ekonomi sebagai indikator kemajuan pembangunan sangat membahayakan.
to be continue..
NK - "Earth Hails"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar