Latar Belakang
Pembangunan
di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,
memperluas kesempatan kerja dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan
pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah. Secara
konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan bermuara
pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus
merupakan sumberdaya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan
kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya (Chambers, 1983).
Tingginya
tingkat urbanisasi ke Jakarta memberikan banyak dampak negative, termasuk
diantaranya permasalahan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Kondisi ini
ditengarai terjadi karena kurangnya lapangan pekerjaan di desa atau tempat asal
Gepeng, disisi lain menariknya kabar tentang Kota yang memberikan banyak
harapan dan impian. Urbanisasi tersebut seringkali tidak diiringai dengan kesiapan
mental, skill dan pendidikan para pelaku, sehingga mengakibatkan mereka
terjebak pada kondisi tidak berdaya dalam persaingan hidup yang memang sangat
ketat di Ibu Kota Jakarta. Akhirnya banyak diantara mereka menggelandang dan
melakukan pekerjaan sebagai pengemis. Namun disatu sisi, kita juga tidak boleh
melupakan aspek budaya/mental dari para urban yang bekerja sebagai pengemis
tersebut. Misalnya sikap malas, tidak malu, dan hal-hal lain yang tidak
konstruktif.
Fakta Gepeng
ini disisi lain bisa memicu kriminalitas, tingginya biaya hidup di Jakarta,
bisa memicu gelandangan melakukan tindakan-tindakan criminal seperti perampokan
dll. Namun ada satu fenomena menarik terkait Gepeng di Jakarta, terutama Gepeng
musiman. Yang dimaksud gepeng Musiman ini adalah Gepeng yang berbondong-bondong
ke Jakarta pada saat-saat tertentu, terutama di hari-hari besar seperti Lebaran
Haji, Lebaran Cina, termasuk Ramadhan sampai ke Lebaran idul Fitri. Ramadhan
denan Idul Fitri nya menjadi sangat mencolok, karena rentang waktu yang lama
(sebulanan) dan banyaknya perlikau shodaqoh public yang menguntungan kan mereka
selama sebulanan tersebut.
Berdasarkan
hasil dari beberapa penelitian dan teks literature yang ada, menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor
penyebab terjadinya Gelandangan & Pengemis (Gepeng), namun bisa di
kategorikan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal pada umumnya terdiri dari
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat keterampilan, dan
sikap mental atau budaya. Sedangkatn factor eksternal meliputi kondisi tempat
asal/daerah asal Gepeng, akses terhadap informasi dan modal usaha, kondisi
permisif/rasa belas kasihan masyarakat kota terhadap Gepeng, penanganan Gepeng
di kota yang belum optimal/integrated. Faktor-faktor penyebab ini bisa
terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi
antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Ada dua aspek besar yang
terlibat dalam permasalahan Gepeng, selain individu Gepeng itu sendiri, yaitu
aspek daerah asal dan aspek daerah tujuan/kota tujuan Gepeng. Penanganan Gepeng
harus mencakup dua aspek tersebut. Tidak hanya menangani Gepeng di kota tujuan,
akan tetapi juga daerah asal Gepeng tesebut, agar tidak terjadi lagi urbanisasi
ke kota sebagai Gepeng.
Fakta dan Data
Menjelang
bulan Ramadhan sampai dengan Idul Fitri, dari tahun ke tahun Gepeng di Jakarta
mengalami peningkatan dari hari biasanya. Seolah-olah telah menjadi rutinitas
tahunan, pelonjakan jumlah Gepeng selalu terjadi menjelang Ramadhan sampai Idul
FItri terjadi. Kondisi ini disinyalir karena nuansa Ramadhan menjadikan
intensitas beramal public meningkat (perilaku permisif), disisi lain kebutuhan
persiapan Idul Fitri menjadikan para urban Gepeng tersebut mencari penghasilan
di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya (jabodetabek). DKI Jakarta menjadi
target utama Gepeng, selain merupakan kota besar/ibu kota, juga kepadatan
penduduknya memberikan kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan penghasilan
lebih kepada para Gepeng.
Data
tahun 2012, hasil pantauan dari Kemensos, di DKI Jakarta terdata sebanyak 1.930
Gepeng, yang sebenarnya mereka tidak miskin, hanya memanfaatkan moment bulan
Suci Ramadhan, dimana umat muslim Jakarta banyak yang melakukan sedekah.
Biasanya 20 hari menjelang Idul Fitri, akan semakin meningkat jumlah Gepeng
yang berasal dari kantong-kantong Gepeng yang telah diketahui sebelumnya, yaitu
Indramayu, Cirebon dan Brebes (sumber Biro Humas Kemensos 2012).
Dari
beberapa sumber informasi dan penelitian, disebutkan bahwa penghasilan Gepeng
di DKI Jakarta perhari rata-rata antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp
1.000.000,- an. Salah satu hasil interview terbuka dengan salah satu Gepeng,
mengatakan bahwa minimal penghasilan mereka adalah Rp 300.000,-. Di daerah
Bulungan, blok M, pedagang Kaki Lima menyatakan bahwa pengemis yang berkeliaran
di wilayah tersebut per hari rata-rata memperoleh Rp 700.000,- an, mereka
sering menukar recehan hasil mengemis ke para pedagang kaki lima disitu. Sehingga
dirata-ratakan penghasilan para pengemis di DKI Jakarta perbulan diatas 15 juta
Rupiah.
Pemprov
DKI sendiri telah menetapkan sekitar 55 titik-titik rawan Gepeng. Adapun
titik-titik rawan Gepeng di wilayah DKI Jakarta adalah:
1.
Jakarta Pusat;
meliputi perempatan Coca-Cola, Simpang Lima Senen, Sawah Besar, Karet Tengsin,
Tanah Abang, Jatibaru, Pramuka Raya, Pasar Genjing, Gajahmada-Hayamwuruk,
Perempatan Harmoni, dan kawasan Sabang.
2.
Jakarta Utara;
meliputi Jl. Yos Sudarso, Pos 8/9, Jl. Raya Cilincing, Stasiun Tanjung Priok,
Gunung Sahari, Ancol, Lodan, Kp.
Bandan, Perempatan Kelapa Gading, dan Perempatan Rumah Duka Atmajaya, Pluit.
3.
Jakarta Selatan;
meliputi perempatan lampu merah CSW, Fatmawati, Blok M, Kebayoran Lama,
Pancoran, Terminal Manggarai, Terminal Pasar Minggu, kawasan Lenteng Agung,
Pesanggrahan, dan kawasan Bintaro.
4.
Jakarta Barat;
meliputi Terminal Bus Grogol, perempatan Tomang, Slipi, Cengkareng, perempatan
Kebon Jeruk, Tambora, Kali Besar Barat, Tamansari, dan Stasiun Kota.
5.
Jakarta Timur; meliputi
Jalan Pemuda, Pramuka, Rawamangun, Pulogadung, Cakung, Jatinegara, Taman
Viaduk, Barkah, Halim Perdana Kusuma, Jl. Raden Inten, Cililitan, Buaran,
Perempatan TMII, Pasar Rebo, dan kawasan Matraman.
Para
Gepeng tesebut biasanya berasal dari Bogor, Sukabumi, Garut, Purwakarta, Tegal,
Brebes, Cirebon dan Indramayu.
Upaya yang Dilakukan
Peningkatan
jumlah Gepeng pada bulan Ramadhan telah menjadi rutinitas setiap tahun.
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta telah
melakukan kerjasama dari tahun ke tahun untuk mengatasi permasalahan ini. Penanganan
Gepeng musiman ini dilindungi oleh Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum, sehingga telah menjadi kewajiban Pemprov DKI Jakarta untuk
mentertibkannya, baik melalui satuan-satuan yang dimiliki seperti Satpol PP,
dan perangkat kerja lainnya yang terkait. Disisi lain dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis,
penanganan Gepeng pun menjadi tanggungjawab bersama dan membutuhkan kerja sama
lintas sector.
Dalam
menghadapi fenomena Gepeng musiman di tahun 2013 ini, Kementerian Sosial dan
Dinsos Pemprov Jakarta telah bekerja sama melakukan pantauan di delapan belas titik
rawan Gepeng diantaranya meliputi Perempatan Matraman, Perempatan Pramuka,
Perempatan Cempaka Putih, Perempatan Kelapa Gading, Perempatan Taman Mini
Indonesia Indah/TMII, kawasan Fatmawati, Salemba, Cengkareng, Tomang, Slipi,
Perempatan Blok M, serta Perempatan Mampang Kuningan. Kemensos dan Dinsos DKI
Jakarta membuat tim gabungan yang terdiri dari personil Dinsos DKI Jakarta, para Pekerja
Sosial, dari LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial), TKSK, dari Ormas seperti PPM
(Pemuda Panca Marga), dan perwakilan masyarakat yang peduli dan mau terlibat
dalam penanggulangan Gepeng ini. Tim gabungan ini terdiri dari 8 sampai dengan
15 personil. Mereka perhari memperoleh insentif dengan 'kisaran' sebesar Rp 75.000,-.
Selain
membentuk tim gabungan tersebut, Kemensos dan Dinsos DKI Jakarta pun melakukan
pemulangan para Gepeng yang terjaring ke kampung nya masing-masing. Sebelum
dipulangkan mereka di tampung di Panti-Panti Sosial milik Dinsos DKI Jakarta
yang berjumlah 27 Panti lebih. Mereka memperoleh bimbingan keterampilan dan upaya
rehabilitasi sosial lainnya. Diharapkan upaya yang merupakan upaya persuasive
sekaligus rehabilitative ini akan mengurangi kuantitas Gepeng sekaligus
mengurangi ketergantungan mereka ke kota besar, dengan berkarya di daerahnya
masing-masing. Semua upaya dilakukan melalui kerjasama dan integrasi dana dekon
(APBN-Kemensos) dan APBD Dinsos DKI Jakarta.
Kementerian
Sosial dalam hal ini Ditjen Rehabilitasi Sosial, dari tahun ke tahun terus
melakukan upaya terbaik dalam penanggulangan PMKS, termasuk Gepeng ini. Dari
dulu Kemensos telah melakukan upaya-upaya sinergis, berkelanjutan dan
strategis, diantaranya melakukan Penertiban Gepeng yang memang diatur dalam
Kepres Nomor 40 tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan
Pengemis, melalui Keputusan Bersama antara Menteri Transmgrasi dan Menteri
Sosial dengan nomor SKB.102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan transmigrasi yang
dikaitkan dengan pengentasan PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial),
termasuk permasalahan Gepeng.
Sampai
saat ini penanganan Gepeng yang dialokasikan melalui dana dekon dan APBD masih
terintegrasi dalam program penanganan PMKS Tuna Sosial, yang didalamnya
terdapat Gepeng. Dengan perbedaan prioritas pembangunan antar wilayah,
khususnya wilayah asal Gepeng, maka seringkali isu Gepeng bukan menjadi
perhatian utama diantara PMKS Tuna Sosial bagi beberapa Pemda. Hal ini
menimbulkan ketidak-sinergian upaya yang dilakukan. Diharapkan kedepannya
dialokasikan secara khusus komponen biaya kegiatan penanganan Gepeng, tidak
terintegrasi dalam penanganan Tuna Sosial, baik di dekon maupun APBD, khususnya
komponen kegiatan penanganan Gepeng berbasis masyarakat di wilayah-wilayah
rawan Gepang dan wilayah-wilayah sumber asal Gepeng. Semoga penanganan Gepeng
kedepan lebih koordinatif dan berkesinambungan serta sinergi satu sama lain.
Nursyamsu
NK - "Earth Hails"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar