Berikut ini adalah sebuah kisah/novel singkat karya Lan Fang, berjudul "Perempuan Abu-Abu". Penulis Lan Fang sempat menginspirasi saya melalui tulisan-tulisan di beberapa novel singkatnya yang cerdas menurut saya . Tulisan dia begitu mengalir, menohok dan seringkali juga menggebu tanpa harus takut kepada rambu-rambu konvensional penyampaian tulisan. Seperti juga kisah "Perempuan Abu-Abu" dibawah ini. Kemenderuan kemerdekaan diri bergulat dalam ketersesakan keterbatasan sosok yang mencoba dilompatinya dengan tanpa ragu. Sebuah kisah dari kejujuran "telanjang", kebugilan yang mungkin positif pada satu sisi, namun juga warna negatif jika dilihat dari nilai-nilai mendasar yang dianggap "ketimuran" ataupun "religi". Terserah anda menafsirkannya atau melihatnya dari sudut pandang masing-masing.
Sebuah transformasi nilai sosial yang termaktub kata demi kata, kalimat demi kalimat, dengan pola dan aksentuasi penyampaian yang sangat lugas dan berani. Adrenalin sosial dari fakta & realitas kehidupan. Selamat menikmati...
Salam,
Nursyamsu Kusuma - "Earth Hails"
READ MORE -
Kisah Telanjang & Realitas Keseharian pada Kejujuran yang "Bugil"
Sebuah transformasi nilai sosial yang termaktub kata demi kata, kalimat demi kalimat, dengan pola dan aksentuasi penyampaian yang sangat lugas dan berani. Adrenalin sosial dari fakta & realitas kehidupan. Selamat menikmati...
Salam,
Nursyamsu Kusuma - "Earth Hails"
PEREMPUAN ABU-ABU
karya: Lan Fang
Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan
tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku
ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal
aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng
guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap
rokok kretekku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat
imajinasi dari gumpalan asap itu.
“Apakah aku pelacur?” Perempuan itu bicara kepadaku.
“Kamu pelacur bukan?” Aku balik bertanya tanpa menoleh
kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.
“Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?” Ia bertanya
lagi.
“Tidur dengan lebih dari satu laki-laki,” sahutku asal saja.
Lagi-lagi tanpa menoleh.
“Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?” Ia masih
mendebat. “Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki
yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut
pelacur laki-laki?” Ia nyerocos tanpa jeda.
Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat
ini aku sedang tidak ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang
bisa memberikan imajinasi untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah
jalan.
Tetapi, alamak…!
Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata
perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.
“Bagaimana?” Ia mengejarku dengan pertanyaannya.
“Apanya yang bagaimana?” Aku tergagap sembari masih berusaha
menguasai diri.
“Apakah aku pelacur?” Ia mengulangi pertanyaannya.
Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang
butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan
kelopak matanya.
Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.
“Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…” Ia
bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.
“Ya,” sahutku dengan nada berat dan sangsi.
Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu,
tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.
“Sebenarnya kamu siapa?” tanyaku pada akhirnya.
“Apakah itu perlu buat kamu?” Ia balik bertanya.
Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan
bersilat lidah setiap saat. Aku pengarang yang sedang mati kata.
“Baik. Panggil saja aku Maya.” Ia berkata seakan-akan bisa
membaca pikiranku.
“Maya? Nama kamu Maya?”
Perempuan itu tertawa. “Kamu pengarang kan? Apalah arti
sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan “Maya”
artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa….”
“Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!”
tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh
imajinasimu.
Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka
blouse-nya, menampakkan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku
terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per
satu. Sampai ia telanjang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun
di tubuhnya. Seperti patung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat
di pameran. Aku meneguk air liur sampai jakunku turun naik.
“Apa yang kau lihat?” Suaranya bertanya setengah mendesah.
“Warna tubuhmu…” Kudengar suaraku seperti datang dari alam
lain.
“Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?”
Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Perempuan ini sekarang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu
seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap
laki-laki bila berhadapan dengan perempuan telanjang di depannya?
“Abu-abu…,” gumamku.
Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. “Kenapa tidak kau
tulis?”
Astaga!
Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa
mencium aroma tubuhnya yang wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab
dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku
menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak birahi.
“Buka matamu…Kenapa harus menutup mata bila kau ingin
melihat sampai ke dalam?” Suaranya mesra merayu.
Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga
ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum
pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu.
Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat
wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya
menjelajahi rongga mataku lalu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku
ke dadanya. Meletakkan di atas payudaranya yang sebelah kiri.
“Kata dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau
lihat ada apa di jantung hatiku?” ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya
menghangati daun telingaku.
Bola mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam
dadanya, masuk ke dalam tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya.
Astaga!
“Apa yang kau lihat?” Ia masih berbisik seperti angin.
“Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu….”
“Ya, kenapa?”
“Berwarna abu-abu,” sahutku gamang.
Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari
atas dadanya dan mengembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan
sebuah kecupan mesra di pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka
mataku. Dan lagi-lagi aku bersirobok pandang dengan sepasang mata berwarna
abu-abu yang menumpahkan berlian-berlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku
sehingga aku bisa menghirup napasnya yang segar. Dan ketika berlian-berlian
jatuh bergulir menetes pula di pipiku lalu mengalir ke bawah, kutadah dengan
tanganku.
“Air matamu juga abu-abu,” kataku sambil melihat
butiran-butiran berlian di tanganku.
Ia tersenyum antara tawa dan tangis.
“Kenapa semua berwarna abu-abu?” tanyaku pada akhirnya.
“Karena semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak
putih tetapi aku tidak sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik
daripada hitam? Bukankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang
mengatakan aku hitam semuanya berwarna putih?” Berlian-berlian abu-abu
bercucuran di pipinya yang kelabu.
“Kenapa mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu
pelacur? Apakah kamu tidur dengan lebih dari satu laki-laki?” Kali ini aku
mengejarnya.
Sekarang dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk
sambil bersidekap dada. Tetapi masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku
rasa, lebih baik ia tidak usah mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang
bulat di depanku walaupun dengan seluruh warna abu-abu.
“Menurutmu, siapakah Yudistira?” Ia bertanya sambil
mengambil rokok di tanganku. Lalu dengan sebuah gerakan yang sensual ia
mengisap rokokku dan menghembuskannya membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil.
Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu.
“Yudistira? Hm…ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana,”
sahutku.
Kali ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan
telanjang bulat walaupun dia berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan.
“Oh, begitu menurutmu?!” Ia membelalakkan matanya yang
abu-abu dan dari suaranya kudengar nada sumbang.
“Ya. Cuma Yudistira yang mencapai nirwana,” sahutku. “Cuma
Yudistira dan seekor anjing,” tambahku cepat.
“Kalau begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu
sama dengan anjing!” Ia memotong cepat dan ketus.
“Lho?!” Aku terperangah.
“Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan
Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan
anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya,
ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira
lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!” Ia kembali nyerocos
dengan berapi-api.
Aku terdiam tidak mampu menjawab.
Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng
guiness di dekat laptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur
melewati bibirnya, lidahnya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung
kemihnya, dan mungkin akan berakhir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang
tersisa di bibirnya yang indah.
Astaga! Lidahnya juga abu-abu!
“Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?” Ia bertanya dengan
lidah abu-abunya.
“Ng…Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa
menjalani hukuman kalah judi dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya
tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya
sebelum keramas darah Duryudana…,” jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau
tidak menurut perempuan itu.
Perempuan itu mendengus. “O…, begitu menurutmu. Drupadi
begitu putih,” ujarnya dengan nada sinis. “Lalu, kalau menurutmu, dia begitu
setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?” sambungnya lagi-lagi
dengan membelalakkan matanya yang abu-abu.
Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata
perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam
jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini
juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung
hati adalah naluri jiwa yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini
juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh
adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia
benar atau salah.
“Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana
karena ia berselingkuh dan tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa, sekaligus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?” Ada luka
menganga di mata abu-abunya.
“Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana
karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada
Yudistira, suaminya?” Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.
“Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?” Ada luka dan
darah membanjir dari jantung hatinya.
Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena
setelah sekian lama melihat perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu,
mendadak saja begitu banyak warna merah mengucur dari matanya, dari lidahnya,
mulutnya, tubuhnya, jantung hatinya, air matanya. Darah!
“Apakah aku pelacur?” Untuk kesekian kalinya ia mengulangi
kata-katanya.
Aku merasakan dadaku sesak.
“Apakah kamu Drupadi?” tanyaku sengau.
“Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku
Maya, apakah aku pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa,
mungkin apa yang tertulis lebih jujur dari kata yang terucap.”
Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku,
menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata
darah, membiarkan mataku mengembara ke dalam jantung hatinya yang berdarah,
merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah.
Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan
abu-abu itu di atas darah…
.