Selaras dengan amanat UUD 1945, yaitu mencapai
masyarakat adil dan makmur. Artinya pencapaian kesejahteraan bagi manusia, dan penyandang disabilitas adalah juga manusia, maka hak nya sama seperti manusia
lainnya untuk bisa menikmati kesejahteraan hidupnya, baik dari aspek kesehatan,
pendidikan, ekonomi, dan hak-hak manusia lainnya. Sebagaimana yang diamanatkan
juga oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Penyandang Cacat.Pada tahun
2002, Indonesia sebagai bagian dari Negara di kawasan Asia-Pasifik ikut
mendukung dicanangkannya Asian-Pacific
Decade for Disabled Persons 2003-2012 di Okinawa, Jepang, yang disertai
agenda aksi untuk mengisi dasawarsa tersebut yang dikenal dengan Biwako Millennium Framework. Tujuannya
adalah menciptakan masyarakat inklusi, bebas hambatan, dan didasarkaan pada hak
asasi bagi penyandang disabilitas di kawasan Asia dan Pasifik pada abad 21.
Biwako Millennium Framework itu sendiri berisi kesepakatan negara kawasan Asia
dan Pasifik yang memuat agenda aksi yang bertujuan untuk pemenuhan hak hidup
yang lebih baik bagi penyandang disabilitas.
Kemudian Indonesia
di tahun 2004 meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat
2004-2013 yang merupakan pengadopsian agenda Biwako Millennium Framework. Hal
tersebut dilakukan untuk merespon Dasawarsa Asia-Pasifik bagi Penyandang Cacat
2003-2012. Dengan tambahan 1 (satu) agenda aksi lagi yaitu Kerjasama
Internasional dan Hak Asasi Manusia. Pada tahun
2010, Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat 2004-2013 telah direview,
dengan pencapaian target RAN Penyandang Cacat masih jauh dari harapan.
Pencapaian kemajuan masih cenderung pada sector sosial/kesejahteraan social
dalam arti sempit. Padahal sejak dua dasawarsa lalu, pendekatan penanganan issu
disabilitas sudah bergerak ke arah pemenuhan hak dan bersifat multi sector.
Pada
tanggal 19 Oktober 2011 Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Hal ini diundangkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak
Penyandang Disabilitas). Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini, Indonesia
harus melaksanakan amanat konvensi termasuk pelaporaannya secara berkala kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ratifikasi ini membawa konsekuensi perlunya
perubahan kebijakan dan program kearah pemenuhan hak penyandang disabilitas dan
pelibatan multi sector dalam penanganan masalah disabilitas di level manapun.
Partnership atau kerjasama, koordinasi, serta komitmen bersama lintas
sector/berbagai pihak dan masyarakat itu sendiri dalam penanganan penyandang
disabilitas menjadi hal yang seharusnya.
Konvensi Hak
Penyandang Disabilitas dan kebijakan lainnya, seperti dasawarsa lanjutan
2013-2021 bagi penyandang disabilitas di kawasan Asia Pasifik, menjadikan issue
disabilitas sebagai issue bersama, tidak melulu urusan salah satu
intansi/lembaga saja. Ini akan menjadi tugas berat bersama yang membutuhkan
kerjasama berbagai pihak seara sadar dan berkesinambungan dalam penanganan
penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyandang gangguan jiwa atau
disabilitas mental, dalam bahasa lain mental health-mental illness.
Konvensi PBB tentang Hak Penyandang
Cacat mewakili langkah ke depan dalam meningkatkan taraf hidup Penyandang cacat
mental. Ini mencakup ketentuan-ketentuan penting yang penting dalam mengakhiri
pelanggaran dan promosi perlindungan hak asasi manusia. Penyandang
cacat mental di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan
mental yang baik. Dimana pelayanan tersebut ada, sering diberikan melalui
lembaga kesehatan mental yang tergabung dengan banyak pelanggaran hak asasi
manusia dan outcome kesehatan yang rendah. Konvensi tersebut mempromosikan
keterlibatan dan partisipasi secara penuh dalam kehidupan masyarakat dan akses
terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas sedekat mungkin kepada masyarakat
mereka sendiri (pasal 19 – Hidup mandiri dan terlibat dalam masyarakat). Hal
ini memiliki implikasi yang penting dalam hal deinstitusionalisasi dan
pembangunan pelayanan kesehatan mental dan sosial berbasis masyarakat (Pasal 12
Pengakuan yang sama di depan hukum).
Penyandang
cacat sering diasumsikan dengan rendahnya kapasitas dalam
tanggung jawab dan pembuatan keputusan berkenaan dengan hidup mereka sendiri. Konvensi
ini memberikan perhatian kepada gagasan ini dengan mempromosikan hak utama
seperti hak untuk memiliki kekayaan (property), untuk masuk dalam kontrak,
untuk mengelola urusan keuangan sendiri, untuk menikah, bekerja, dan mempertahankan
hak asuh anak. Lebih lanjut Konvensi itu menyatakan bahwa penyandang cacat
harus menahan kapasitas legal, dan, jika dibutuhkan, harus diberikan dengan dukungan
dalam melatih kemampuan hukum dan hak mereka (Pasal 12 Pengakuan yang sama di
depan hukum).
Stigma yang dihubungan dengan penyandang cacat membuat orang ditolak
secara hak ekonomi, sosial, sipil, dan politik yang diberikan kepada orang
lain. Dengan mempromosikan
partisipasi yang benar dalam politik dan kehidupan umum, pada pelayanan
pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan habilitasi/rehabilitasi, hak kerja,
ketenagakerjaan, dan hak-hak lainnya, Konvensi memberikan kerangka kerja hukum
untuk perlahan menghapus pengalaman diskriminasi setiap hari oleh orang-orang
penyandang cacat
Salam,
Nursyamsu Kusuma (NK)
dalam "Earth Hails"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar