Kesadaran terhadap diri, menjadi salah satu
berangkat pada sekian banyak turunan-turunan pemahaman psikologi. Bagi konteks
sosiologis, hal-hal “horizontal” diluar diri menjadi aspek-aspek yang
dipertimbangkan juga, kemudian pada sisi manusia sebagai makhluk
berkepercayaan/religi, maka transenden ke-Tuhan-an pun menjadi hal yang perlu
jadi dasar dalam keseharian. Kompleksitas sosok manusia begitu rigid dan
akhirnya ruwet saat implementasi keseharian, ketika aspek-aspek psikologis-sosiologis-religi
menjadi pertimbangan-pertimbangan. Keterbatasan manusaia dalam segala hal,
menjadikan semua aspek itu berhadapan dengan banyak realitas keseharian manusia
yang melahirkan permasalahan-permasalahan. Alur keluaran dari semua itu adalah
bahwa manusia pada keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki tidak bisa
menyeimbangkan ketiga aspek tersebut, harus memilih atau menetakan
kecenderungan kepada salah satu aspek atau mengutamakan aspek yang mana, atau
mendahulukan aspek yang mana menjadi pertimbangan utama utk kemudian
menempatkan aspek lainnya menjadi nomor 2 dan 3. Pada kenyataanya, tanpa
direncanakan dst pemprioritasan aspek terjadi begitu saja, refleks terhadap
situasi & kondisi yang ada.
Freud membagi organisasi fisik individu
kedalam 3 bagian dengan istilah ‘id’, ‘ego’, dan ‘super-ego’. Sebagai orang
sosial, aku tidak terlalu percaya terhadap pembagian tersebut atas sosok
manusia. Model stratifikasi Giddens lebih memenuhi logika berpikir ku. Giddens membagi kedalam 3 stratifikasi
terhdap sosok manusia yg juga anggota dari sebuah masyarakat, yaitu sistem
keamanan dasar, kesadaran praktis dan kesadaran diskursif.
Pada konteks Freud, dia menganggap manusia
sebagai agen, namun sering juga mengatakan id, ego dan super-ego sebagai
agensi-agensi dalam individu itu. Freud dalam tulisan-tulisannya sebelum tahun
1920-an seringkali menggunakan istilah ‘das Ich’ untuk mengacu pada orang
secara utuh, maupun untuk menetapkan bagian jiwa (mind). Pergeseran-pergeseran
penggunaan itu pun berlaku pada ‘super-ego’, yang kadang diperbedakan dengan
gagasan lain, yaitu ‘ego-ideal’. Beberapa peralihan dan ketidak-konsistenan
terminologi tersebut menunjukkan ada beberapa kesulitan konspetual yang agak
parah. Misalnya: Freud mengatakan das
Ich merupakan bagian dari Jiwa (mind). Lalu bagaimanakah Freud bisa mengatakan
hal-hal seperti itu sehingga ‘ego’ memutuskan tidak mengakui gagasan yang tidak cocok? Apakah keputusan ‘ego’ tentang
beberapa jenis proses itu ada dalam miniatur keputusan ‘ego’? Ini menjadi tidak masuk akal. Freud juga
menulis diantaranya ‘kemauan ego untuk tidur’. Meskipun tidur terjadi, namun
tubuh masih terus ‘bertugas’ melindungi keluaran jelek dari ‘ketidaksadaran’ (the
unconscious), dengan tetap ‘menjaga’ tidur si pemimpi. Juga muncul jenis
pertanyaan yang sama, siapakah yang dilindungi sang ‘penjaga’? dst.
Pertimbangkanlah karakterisasi paling umum tugas-tugas ‘ego’ yang dikatakan
Freud. ‘Ego’ memiliki tugas ‘penyelamatan diri’, yakni menjalankan tugasnya
dengan belajar melakukan perubahan-perubahan di dunia eksternal demi
keuntungannya sendiri. Namun “diri” mana yang dipertahankan ‘ego’? apakah
keuntungannya juga keuntagan diri sendiri?
Satu taktik tradisional diantara interpreter
Freud adalah menerima gagasan bahwa ada penggunaan-penggunaan antropomorfis
yang salah kaparah dalam tulisan-tulisan Freud, namun penggunaan tersebut bisa
ditiadakan jika kita memahami ‘id’, ‘ego’ dan ‘super-ego’ dengan mengacu pada
proses atau daya. Namun cara seperti inipun tidak banyak membantu, karena
konsep-konsep seperti itu tidak memungkinkan kita bisa memahami dengan tepat
hakikat agensi manusia. Kemudin Freud mengatakan tentang aliran hodrolis,
kebuntuan energi dsb, namun semuanya itu menyulap jenis konsepsi mekanis asal
muasal perilaku manusia yang berkaitan dengan bentuk paling naif pada
obyektivisme. Bagian persolan tersebut terletak pada penggunaan istilah ‘id’,
‘ego’ dan ‘super-ego’, yang masing-masing memiliki beberapa konotasi tentang
agensi. Masing-masing merupakan miniagen dalam agen seperti itu . Membuang istilah
‘id’ dan ‘super-ego’ mungkin bisa membantu, namun harus dilengkapi dengan
pengakuan karkter yang jelas, yaitu ‘das Ich’ atau ‘aku’.
Para strukturalis menyarankan untuk melakukan
‘jalan memutar’ untuk bisa menghubungkan ‘aku’ dengan agensi, berdasarkan
desentralisasi subyek, tanpa mencapai kesimpulan-kesimpulan yang memperlakukan
subyek hanya sebagai tanda dalam suatu struktur signifikasi. Bagaimanapun
pembentukan ‘aku’ terjadi hanya melalui wacana orang lain, yaitu melalui
pemerolehan bahasa, dengan mengaitkan ‘aku’ dengan benda/tubuh sebagai bidang
tindakan. Istilah ‘I’ atau ‘aku’ dalam pengertian linguistik merupakan
penggeser/shifter. Kontekstualitas pengaturan posisi sosial menentukan ‘I’
dalam sembarang situasi perbincangan. Meskipun kita mungkin cenderung
menganggap berdasarkan pada aspek-aspek paling kaya dan akrab, dalam satu sisi
dia merupakan salah satu istilah paling kosong dalam bahasa. Karena ‘I’ hanya
mengacu ke siapa yang sedang bertutur, ‘subyek’ suatu kalimat atau ujaran.
Seseorang yang telah menguasai penggunaan ‘I’
juga sangat bisa telah menguasai penggunaan ‘me’, jika dia menguasai secara
sintaksis kedua bahasa yang berbeda tersebut. Karen saya harus mengetahui bahwa
saya adalah ‘I’ (aku) ketika saya bertutur pada ‘you’ (anda), tapi bahwa anda
merupakan ‘I’ ketika anda bercakap-cakap dengan ‘me’, dan bahwa saya adalah
‘you’ ketika anda bercakap-cakap denganku, dst. Bahwa pada dasarnya penggunaan
demikian bukanlah merupakan ketermpilan-keterampilan linguistik yang merupakan
jenis keterampilan yang sangat rumit, namun lebih memerlukan kendali tubuh yang
sudh diramifikasi dan pengetahuan yang maju tentang bagaimana ‘berbuat sesuatu’
dalam pliralitas konteks-konteks kehidupan sosial.
Yang jelas memonitor secara refleksif suatu tindakan dalam kehidupan sosial itu diperlukan. Pentingnya memonitor tindakan dalam kesinambungan kehidupan sosial tidak berarti mengingkari signifikansi sumber-sumber kesadaran kognisi dan motivasi . Namun hal ini melibatkan pemberian perhatian pada diferensiasi yang memisahkan keadaan ‘sadar’ dengan ‘tidak sadar’.
NK - "Earth Hails"
Thanks for Giddens
Tidak ada komentar:
Posting Komentar