Social Icons

Pages

Jumat, 25 Juli 2014

Summary Analisa Kebijakan terhadap Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB)/Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB), 2013

1.    Identifikasi

a.   Historis Kebijakan
·   2006 – 2010, program JSPC (Jaminan Sosial Penyandang Cacat – 2006), JSODKB (Jaminan Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat – 2007 s/d 2010)
·   2011 – 2013, program ASODKB/ASPDB
b.   Kebijakan dan atau Perundang-Undangan terkait, serta Paradigma
·   RPJP 2005 - 2024
·   UU RI No. 25 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Nasional
·   UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
·   UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Nasional)
·   Konvensi Hak Penyandang Cacat (CRPD) (Internasional)
·   Biwako Millenium Framework, menghasilkan APDDP 2 (2003 – 2012) ditindaklanjuti dalam RAN PD 2 (2004 – 2013). Evaluasi BMF melalui Incheon Strategy menghasilkan APDDP 3 (2013 – 2021), ditindaklanjuti dengan RAN PD 3 (2014 – 2022) {Regional)
·   UU No. 19 tahun 2011, Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.
·   UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, dengan pelaksanaan konkret di tahun 2014 (sebagai amanat konstitusi UUD 1945 pasal 5; pasal 20; pasal 28 ayat 1, 2, 3 ; pasal 34 ayat 1 & 2)
·   Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
·   Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010, tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Merupakan program pro rakyat yang beralur pada 3 pilar yaitu: Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis Keluarga, Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis Pemberdayaan Masyarakat, dan Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis Pemberdayaan Usaha Kecil & Mikro
·   11 Prioritas Nasional KIB II Tahun 2009 – 2014 (3 menjadi urusan sosial dalam arti kesra: Penanggulangan Kemiskinan, Pendidikan & Kesehatan). Ini juga yang menjadi dasar IPM (indeks pembangunan manusia), yang akan bermuara pada mandate MDGs. KIB II pun diejawantahkan dalam bentuk Kebijakan Ekonomi Makro, yang membagi pembangunan dalam 4 kluster. PD masuk pada cluster 1, berupa bantuan & perlindungan sosial.
·   RPJMN 2 (2010 – 2014): Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing perekonomian. Persiapan menyongsong RPJMN 3 (2015 – 2019): Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian berbasis SDA yang tersedia, SDM berkualitas, serta IPTEK.
·   Kebijakan Kategori Perlindungan Sosial menurut UN, ADB, dan World Bank.
·   Perubahan Paradigma
Sebelumnya
Saat Ini
Model pendekatan medis
Model pendekatan sosial
Charity
Right Based
Berbasis institusi
Keluarga & masyarakat
Single issue
Crosscutting issue
Sektoral issue
Integral issue
Reaktif & kuratif
Antisipatif & Partisipatif
Residual care
Holistik care
Pendekatan case
Pendekatan Inklusi


c.   Penganggaran, @ = Rp 300.000,

APBD masih di upayakan untuk optimalisasi (belum menjadi kesepakatan bersama). Perlu adanya pelibatan private sectors & stakeholders potensial lainnya, selain untuk meningkatkan upaya pendanaan, juga menjamin keberlanjutan program kedepan.


d.   Kriteria & Ketepatan Sasaran
·   Kriteria
o   Kondisi kecacatannya tidak dapat di rehabilitasi maupun di koreksi
o   Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mutlak membutuhkan bantuan orang lain
o   Tidak dapat menghidupi dirinya sendiri
o   Tidak mendapat pelayanan dalam lembaga, dia ada di rumah keluarga atau anggota masyarakat lain
·   Ketepatan Sasaran
Sudah tepat, hanya saja perlu mempertimbangkan masukan data dari luar Dinas Sosial, khususnya dari Pendamping. Salah satu hasil Field Review, versi informasi dari Pendamping menyatakan bahwa bayak PDB yang lebih parah dengan kondisi kemiskinan yang lebih parah dan berada di pelosok-pelosok. Mengakomodir konteks ini memang membutuhkan kemampuan lebih, terutama upaya menjangkau sasaran, namun disatu sisi pada konteks sosial, hal ini penting untuk menghindari kecemburuan sosial dan merujuk kepada Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan.

e.     Kendala
·   Sosialisasi : tools & SDM (Pusat & Daerah)
·   Pendataan : tools & SDM (Pusat & Daerah)
·   Penyaluran : system (Pusat & Daerah)
·   Pendampingan : SDM & equipments (Daerah)
·   Pelaporan : SDM (Daerah)

f.        Manfaat
ASPDB memberikan manfaat bagi PDB secara ekonomi dan pada konteks fisik. Pada konteks sosial dalam arti keberfungsian sosial & perubahan-perubahan perilaku yang mengarah kepada peningkatan kemampuan sosial, masih perlu di tajamkan.

g.     Peningkatan Kualitas SDM Pelaksana
·   Secara parsial ada peningkatan, tapi tidak secara integrated & significant
·   Perlu ada penguatan & peningkatan kapasitas SDM secara berkesinambungan melalui pelatihan-pelatihan dan atau studi dan upaya-upaya sejenis secara crosscutting.

2.    Implementasi
ASPDB telah tersampaikan kepada sasaran. Permasalahan/kendala & tantangan yang muncul secara keseluruhan terkait:
a.     Sistem penyaluran dana
b.     SDM Pendamping
c.     Sinergi Pusat & Daerah
d.     Harmonisasi kebijakan/perundang-undangan
e.     Efektivitas, efisiensi dan nilai strategic dari program pada konteks pembangunan yang berkelanjutan

3.    Rekomendasi
a.     Optimalisasi sosialisasi/diseminasi melalui tools lokal (local/community board, public place, dll), maupun tools nasional. Media below the line maupun elektronik.
b.     Sistem penyaluran dana menekankan kepada pelibatan pranata sosial lokal, baik melalui organisasi kemasyarkatan yang ada di masyarkat, LKS maupun Pendamping
c.     Peningkatan kapasitas Pendamping: Sistem maupun SDM, diarahkan pada pelibatan Peksos (maupun sakti peksos).
d.     Optimalisasi pencapaian maksud program melalui harmonisasi program-program terkait (complimentary program), baik dari pemerintah pusat, pemda, NGO lokal maupun internasional, dan private sector.
e.     Optimalisasi pemanfaatan potensi lokal dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monev program, baik secara lembaga (LKS) maupun individu (pendamping)
f.        Penempatan program pada objectivitas, harmonisasi, sinkronisasi & seinergi paradigma, konsep, kebijakan & nilai strategis penanganan PD pada konteks Kesejahteraan Sosial. ASPDB di transformasikan kedalam kegiatan Parenting Skill, dengan pembagian 3 kelompok:
·         Keluarga potensial yang mampu secara ekonomi & memiliki anggota keluarga PDB. Asistensi dalam bentuk --------------- : Parenting skill dalam merawat PDB dan pemahaman konteks PDB.
·         Keluarga potensial yang kurang mampu secara ekonomi & memiliki anggota keluarga PDB. Asistensi dalam bentuk ------------ : Seleksi, asesmen, pembekalan vokasional, & stimulan UEP.
·         Keluarga tidak potensial yang tidak mampu secara ekonomi & memiliki anggota keluarga yang PDB. Asistensi dalam bentuk ------- : Dana cash jaminan perbulan.

g.     Internalisasikan kebutuhan & konteks PDB kepada system SJSN.




NK - "Earth Hails"
READ MORE - Summary Analisa Kebijakan terhadap Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB)/Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB), 2013

Tindak Lanjut Mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

PEMETAAN LPKS DI 35 PROVINSI DI INDONESIA
SEBAGAI TINDAK LANJUT DARI MANDAT UU SPPA
JULI 2014

A.       RASIONALISASI
Menindaklanjuti keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dengan beberapa mandat UU tersebut adalah dialamatkan ke Kementerian Sosial, salah satu respon yang dilakukan Kemensos melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak adlaah melakukan kegiatan Pemetaan LPKS di beberapa wilayah.  Hal ini sebagai pemenuhan kewajiban mandat dari UU SPPA khususnya pasal 105 point f, yang mewajibkan Kementerian Sosial untuk membangun Lembaga Penyelengaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) disetiap provinsi.

Jika ditilik lebih jauh, di UU SPPA terdapat sekitar 19 pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPS yang meberikan mandat kepada Kementerian Sosial, termasuk didalamnya peran LPKS, Pekerja Sosial, dan Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam penanganan ABH melalui pendampingan ataupun rehabilitasi sosial, baik ABH sebagai titipan maupun sebagai rujukan.

Merujuk pada situasi saat ini, dimana Kementerian Sosial memiiki keterbatasan anggaran untuk membangun LPKS disetiap Provinsi di Indonesia, maka tanpa mengurangi makna mandat dari UU SPPA, Kementerian Sosia RI melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (KSA) akan mengarah pada optimalisasi peran institusi terkait anak yang telah dimiliki Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosia RI seperti PSMP (Panti Sosial Pamardhi Putra) serta institusi terkait seperti RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak), PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) dan PSAA (Panti Sosia Asuhan Anak), untuk dimaksimalkan peran penanganan ABH didalamnya. Selain itu Direktorat KSA juga melakukan pemetaan di provinsi-provinsi di Indonesia untuk melihat potensi Panti Sosial terkait milik daerah (UPTD) dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang bergerak di penanganan anak, untuk turut serta dalam pelaksanaan penanganan ABH.

B.        TUJUAN PEMETAAN
1.      Evaluasi yang komprehensif data LPKS hasil pemetaan yang disesuaikan kriteria LPKS dan ketersediaan LPKS di masing-masing wilayah.
2.      Mendapatkan pemeringkatan LPKS calon pelaksana rehabilitasi sosial dan penerima titipan maupun rujukan ABH.
3.      Dihasilkan draft Surat Keputusan Menteri Sosial tentang Penunjukkan LPKS penerima titipan dan rujukan ABH


C.        METODOLOGI PEMETAAN
1.      Penelitian Lapangan sederhana melalui survey dan observasi lapangan, bekerjasama dengan Dinas Sosial di masing-masing provinsi untuk melihat kemungkinan Panti Sosial milik daerah/UPTD dan LKS setempat untuk menjadi lembaga pelaksana rehabilitasi sosial dan penerima titipan maupun rujukan ABH.
2.      Melakukan pemeringkatan dan atau skoring dengan indikator-indikator ideal yang dimiliki Panti Sosial milik pusat terkait ABH seperti PSMP.
Penelitian lapangan berupa pemetaan LPKS ini dilakukan dengan dua tahapan kegiatan yaitu:
1.      Sampling
Pengambilan sampling dilakukan di seluruh Provinsi, sebagai mandat dari UU SPPA. Dari masing-masing provinsi di ambil sampling lembaga berdasarkan pada rekomendasi Dinas Sosial di masing-masing Provinsi.
2.      Skoring
Skoring ini dilakukan terhadap 61 “calon” LPKS atau yang berpotensi menjadi LPKS untuk bisa dijadikan LPKS dalam penanganan ABH. 
Skoring calon LPKS ini bertujuan untuk melihat potensi dan kekurangan yang ada pada masing-masing lembaga dengan merujuk kepada 6 kriteria sebagai berikut:
1.                Kelembagaan
2.                SDM
3.                Sarana Prasarana
4.                Program/Jenis Layanan
5.                Koordinasi/partnership
6.                Anggaran

Skoring dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan berikut:
a.      Menetapan aspek penilaian yang terdiri dari 6 aspek: Kelembagaan, SDM, Sarana Prasarana, Program/Jenis Layanan, Koordinasi dan Anggaran.
b.  Masing-masing aspek di breakdown menjadi beberapa item indikator yang menunjukan eksistensi dari aspek penilaian tersebut.
c.       Kemudian dilakukan pembobotan/skoring berdasarkan bobot aspek dan bobot indikator
d.    Dari hasil bobot aspek dan bobot indikator dari masing-masing calon LPKS akan terlihat skoring dari masing-masing calon LPKS, dan menghasilkan urutan skoring dari masing-masin calon LPKS yang dilihat dari bobot aspek dan bobot indikatornya.
e.      Penetapan rekomendasi berdasarkan pembobotan tersebut.


D.       LOKASI PEMETAAN
Di semua provinsi di Indonesia (35 Provinsi)

E.        HASIL PEMETAAN & SKORING (Terlampir)
1.      Lampiran 1 adalah Tabel Skoring 61 Calon LPKS untuk ABH
2.      Lampiran 2 adalah Rekap hasil Skoring 61 Calon LPKS untuk ABH
Summarize:



F.         TINDAK LANJUT JANGKA PENDEK
1.      Pertemuan keseluruhan perwakilan Calon LPKS se-Indonesia, untuk re-mapping dan verifikasi-validasi, di Bandung.
2.      Bintap Peksos/TKS LPKS Regional Barat, di Jogyakarta
3.      Bintap Peksos/TKS LPKS Regional Timur, di NTB
4.      Penyelesaian draft Permensos pelaksanaan ABH terkait SPPA
5.      Penyelesaian draft Pedoman Penanganan ABH terkait SPPA

Appendix 1
Pemetaan ini dilakukan melalui metodologi Penelitian Lapangan sederhana. Penelitian lapangan dilakukan untuk mengetahui, mempelajari, memahami atau menggambarkan objek penelitian. Penelitian lapangan dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai aspek yang ingin dinilai, termasuk misalnya aspek-aspek dari organisasi. Rata-rata penelitian lapangan dilakukan berdasarkan lokasi ataupun topik penelitian lapangan. Beberapa contoh penelitian lapangan dan aspek-aspeknya (W. Lawrence Neuman dalam Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, edisi-7) diantaranya sebagai berikut:
1.         Latar berskala kecil
a.         Penampungan wanita korban kekerasan
b.         Organisasi pergerakan sosial
c.          Kantor kesejahteraan sosial
d.         Dll
2.         Latar Komunitas
a.         Komunitas pensiunan
b.         Komunitas anak nakal
c.          Dll
3.         Latar Aktivitas Anak
a.         Taman bermain
b.         Remaja di Sekolah
c.          Anak jalanan
d.         Dll
4.         Latar Pekerjaan
a.         Pekerja Sosial
b.         Tenaga Kesejahteraan Sosial
c.          Dll
5.         Latar Penyimpangan dan Aktivitas Kriminal
a.         Bandar Narkoba
b.         Prostitusi
c.          Anak nakal atau anak berhadapan dengan hukum (ABH)
d.         Gelandangan/tunawisma
e.         Dll
6.         Latar Medis & Peristiwa Terkait Medis
a.         Unit gawat darurat
b.         Unit perawatan insentif
c.          Dll
(Itu beberapa contoh saja dari latar belakang yang dijadikan fokus dalam penelitian lapangan).
Appendix II
1.         Bahan-bahan terkait



NK - "Earth Hails"
READ MORE - Tindak Lanjut Mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

Kamis, 24 Juli 2014

Tindak Lanjut Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

KONSULTASI BILATERAL ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN DEPARTEMEN KEHAKIMAN AMERIKA SERIKAT, TENTANG ISSUE TRAFFICKING MANUSIA, KHUSUSNYA TATA CARA PENANGANAN SHELTER BAGI KORBAN TRAFFICKING
18 – 26 April 2014



A.   RASIONALISASI

Persoalan dan atau permasalahan sosial dari tahun ke tahun selalu bertambah, seiring semakin kompleknya kehidupan manusia. Salah satu persoalan yang perlu menjadi perhatian kita adalah tentang Human Trafficking, atau fenomena perdagangan manusia. Buruh paksa, penghambaan, pekerja seks dan kasus-kasus seputaran trafficking semakin mengemuka, termasuk di Indonesia.
Data dari Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Orang di Amerika Serikat (U.S. Department of Health and Human Service, and U.S. Department of Justice, Free for Slaves) melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 600.000 – 800.000 laki-laki, perempuan dan anak diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan akan eks dan buruh. Mereka biasa diselundupkan melewati perbatasan-perbatasan internasional.

UNICEF Jakarta pun mengelurkan data yang menunjukkan angka mencengangkan, sekitar 40.000 – 70.000 orang Indonesia per-tahunnya dikirim menjadi pekerja seks komersial di Malaysia, Singapura, Taiwan dan Australia. Kedutaan Besar RI di Malaysia pun mencatat angka yang fantastis, pada tahun 2001 terdapat 2.112 kasus, tahun 2002 terdapat 2.155 kasus, tahun 2005 terdapat 2.158 kasus. Sebuah badan penelitian di Malaysia menunjukkan angka yang lebih mengejutkan lagi, bahwa sekitar 6.705 orang Indonesia bekerja sebagai pekerja seks komersial di Malaysia (Hamim & Agustinanto dalam Sulistyowati, 2006).

Menurut data dan informasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia sudah menjadi perusahaan kriminal terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan narkoba. Dari bisnis ini para pelaku dapat meraup laba sekitar USD 7 miliar setiap tahunnya. Laporan Asia Development Bank (ADB), memperkirakan satu hingga dua juta manusia diperjualbelikan setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahka hingga tahun 2008 diperkirakan keuntungan yang didapat oleh traffickers mencapai USD 40 miliar. Salah satu korban trafficking yang kini menjadi pusat perhatian adalah para pekerja migran, terutama para pekerja migran perempuan. Bank Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan. Namun secara rata-rata 1 dolar yang dihasilkan oleh pekerja laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80 sen. Ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan sangat tidak sebanding dengan tingginya resiko perempuan menjadi korban human trafficking dibandingkan laki-laki. Realitas ini sangat jelas terpampang dengan apa yang terjadi kepada Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia dalam percaturan tenaga kerja global selama ini. Hampir 80 persen dari sekitar 6,5 juta pekerja migran kita adalah perempuan. Fakta ini memunculkan stigma dan persepsi di masyarakat, tenaga kerja Indonesia (TKI) identik dengan tenaga kerja wanita (TKW). Lebih spesifik lagi identik dengan pembantu rumah tangga (PRT). Sebagian dari mereka berpendidikan rendah sehingga banyak terserap ke sektor informal terutama PRT. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan membuat banyak perempuan, terpaksa menjadi TKW. Sebagian dari mereka ada yang berhasil menjadi tulang punggung keluarga, namun tidak sedikit yang menjadi korban human trafficking(perdagangan manusia) dan beragam bentuk perbudakan lainnya di negeri orang.Hampir setiap hari kita bisa mendapatkan kabar duka dari para pekerja migran kita.Mulai dari pelecehan seksual, penyiksaan baik fisik maupun mental yang menyebabkan depresi, cacat, sakit, gila bahkan meninggal dunia. Belum lagi pelanggaran hak-hak lainnya seperti gaji yang tidak dibayar dan tidak adanya waktu libur. 2012, Migrant Care Indonesia memperkirakan sebanyak 43 persen atau sekitar 3 juta dari total buruh migran Indonesia adalah korban human trafficking. Data ini tidak hanya mencakup pekerja migran yang bekerja secara illegal namun juga mereka yang secara resmi mengikuti mekanisme pemerintah alias pekerja migran legal. Korban perdagangan manusia sangat rawan terhadap eksploitasi, baik secara seksual maupun kerja paksa. Sementara itu, secara umum Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, sepanjang tahun 2010 hingga 1 November, kasus penganiayaan yang menimpa TKI kita cukup tinggi. Yakni sebanyak 3.835 di 18 negara tujuan pengiriman. Ini yang berhasil didata. Kasus di lapangan dipastikan jauh lebih besar.

Data yang lebih mencengangkan tentang kasus human trafficking di Indonesia dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2010 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking, negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak dan orang-orang yang menjadi sasaran human trafficking, khususnya prostitusi dan kerja paksa. Ini terjadi karena migrasi yang berlangsung di Indonesia adalah migrasi yang tidak aman, sehingga trafficking seakan menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri. Mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur, kemudian akses informasi yang tidak sampai ke basis calon buruh migran sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.

Martino Sardi (2006) mengungkapkan bahwa hak-hak para korban sering dilecehkan, mereka hanya diperlakukan sebagai objek transaksi ekonomi, dan keuntungan dari hasil penjualan tubuhnya bukan diperuntukkan bagi para korban, akan tetapi dirampas oleh para penjual. Korban human trafficking rata-rata menimpa anak-anak dan perempuan. Mereka banyak digunakan sebagai buruh dan penjaja seks.

Beberapa faktor menjadi penyebab terjadinya human trafficking, diantaranya adalah faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, faktor budaya, globalisasi, modernitas, sampai pada lemahnya pengawasan pemerintah. Faktor ekonomi dan pendidikan ditengarai sebagai penyebab terbesar. Hal ini terbukti dari profile para korban yang rata-rata berasal dari ekonomi menengah ke bawah dan pedidikan yang rendah. Rata-rata mereka tidak memiliki pekerjaan yang mampu menopang hidupnya secara lebih baik.

Beberapa upaya pencegahan bisa dilakukan melalui penumbuhan kesadaran keluarga (khususnya para orang tua dan korban) terkait tindak trafficking dan menjauh dari hal-hal terkait tersebut, melakukan sosialisasi terkait trafficking di sekolah-sekolah dan instansi-intansi pemerintah maupun kelembagaan di masyarakat, memberikan perlindungan hukum kepada para korban dan membawa pelaku ke pengadilan.
Kementerian Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial diantaranya menangani korban trafficiking perempuan. Selain program dan kegiatan regular, penanganan korban trafficking yang ditangani Direktorat RSTS melalui Rehabilitasi Sosial, Reintegrasi Sosial dan Pemulangan, beberapa fakta & data highlight penanganan korban trafficking yang telah ditangani Direktorat RSTS diantaranya adalah:
1.     Pada Agustus 2013, Direktorat RSTS bersama IOM menerima 17 korban trafficking dari Thailand dan Myanmar. Mereka ditemukan di Kabupaten Aru, Provinsi Maluku, dan telah dirujuk ke PSBK Pangudi Luhur
2.       Korban trafficking yang ditangani RSTS pada umumnya di eksploitasi di diskotik, karoeke, tempat massage/pijat, dan pembantu rumah tangga.
3. Data yang dirilis International Organization for Migration (IOM) Indonesia tahun 2011, menunjukkan Indonesia menempati peringkat teratas dengan jumlah 3.943 korban perdagangan manusia. Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, yakni sebanyak 920 kasus atau 23,33%.
4.   Sejak tahun 2007 sampai sekarang, Kementerian Sosial melalui RPSW telah menangani 275 korban trafficking perempuan, baik yang telah di reintegrasi kepada keluarganya ataupun yang dirujuk ke lembaga terkait.

Sebagai ancaman yang sangat serius, human trafficking terutama pada perempuan harus diantisipasi melalui upaya dan kerjasama yang holistic. Perlu ada burden sharing pengawasan dan penanganan yang lebih baik antara pusat dan daerah untuk menekan masalah TKW hingga ke level paling bawah di samping kerjasama internasional yang intens dengan semua pihak. Selain segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, penting pula untuk membuat MoU dengan sejumlah negara tujuan terutama negara yang memiliki banyak catatan kasus praktik human trafficking seperti Malaysia dan Arab Saudi. Aspek hukum ini harus ditindaklanjuti dengan peningkatan daya saing dan kompetensi TKW untuk meningkatkan posisi tawar mereka saat bekerja di luar negeri. Termasuk pembekalan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja migran yang dilindungi oleh undang-undang. Selain sejumlah langkah strategis di atas, persoalan paling mendasar yang harus dituntaskan adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi terhadap perempuan karena inilah akar masalah yang sesungguhnya. Perempuan perlu diberi akses yang lebih luas agar bisa mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan mengambil peran yang lebih penting dalam pembangunan. (Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Sinar Harapan, Jumat 13 April 2012)

Perdagangan manusia itu meliputi segala transaksi jual beli terhadap manusia. Menurut Protokol Palermi pada ayat tiga, definisi aktivitas transaksi meliputi: perekrutan, pengiriman, pemindah-tanganan, penampungan atau penerimaan orang; yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya seperti peculikan, muslihat atau tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan posisi rawan, menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi setidaknya-tidaknya pelacuran (eksploitasi prostitusi) orang lain atau lainnya seperti kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Dalam hal perdagangan anak yang dimaksud adalah setiap orang yang umurnya kurang dari 18 tahun.

Salah satu hal yang sangat penting bagi korban perdagangan orang yang berhasil diselamatkan adalah perlindungan, dimana korban sangat membutuhkan rumah aman agar korban merasa aman dan terlindungi, selain itu korban juga melalui layanan shelter korban bisa memperoleh pelayanan psikososial agar ia dapat pulih dari trauma yang dideritanya. Karena itu shelter atau rumah aman merupakan bagian penting yang terintegrasi dalam program rehabilitasi social. Kementerian social RI yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 69 tahun 2008 dimana Kementerian Sosial sebagai ketua sub gugus tugas Rehabilitasi Sosial, pemulangan dan reintegrasi social bagi korban.

Kegiatan ini merupakan kegiatan bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika serikat khususnya dalam bidang penanggulangan perdagangan orang. Kegiatan akan di fokuskan di dua tempat, yaitu Washington dan San Fransisco.

B.   DELEGASI
Delegasi Kementerian Sosial terdiri dari:
1.       Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial sebagai Koordinator Delegasi
2.       Kepala Sub-Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial untuk Wanita Tuna Susila dan Korban Trafficking Perempuan Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Bapak Esa Sumantri
3.      Perwakilan dari Pemerintah Daerah (Jawa Barat), Bapak Barnas Adjidin
4.  Perwakilan Ditjen Rehsos Kemensos sekaligus sebagai penterjemah Delegasi Kementerian Sosial, Nursyamsu Kusuma

C.   KEGIATAN KONSULTASI BILATERAL
KEGIATAN DI WASHINGTON

1.          Pertemuan, 19 April 2014
Pertemuan Koordinator Kemensos (Sekretaris Jenderal) dengan pihak dari KBRI, membicarakan terkait tujuan kegiatan dan sharing non formal terkait program-program terkait lainnya, serta peluang-peluang dukungan dari KBRI kedepan khususnya terkait dengan issue perdagangan orang di tanah air.

2.    Pertemuan 21 April 2014
a. U.S. Attorney’s Office (Bagian dari DOJ) for the District of Columbia. Presenter: Jelahn Stewart, Chief, Victim Witness Assistant Unit.
Pada sesi ini para delegasi mendapatkan informasi dari 2 narasumber dimana keduanya memiliki peran yang saling menguatkan yaitu antara penegak hukum dan pendamping saksi dan korban TPPO senantiasa bekerjasama sehingga proses hukum dapat berjalan baik. Bentuk kerjasama yang paling significant diantara U.S. Attorney dengan Victim Witness Assistant Unit adalah satu pihak yaitu Attorney aktif menjalankan peran dalam pencegahan, penyelamatan korban dan proses hukum bagi pelaku, sedangkan Assistant unit lebih banyak mengambil peran bagaimana melindungi korban dan saksi korban, memberikan pendampingan psikologis dan mengaitkan korban dengan para penyedia layanan yang dibutuhkan untuk membantu proses pemulihan korban. Dengan demikian korban dan saksi korban dapat memberikan kesaksian dengan baik.
b. Polaris Project. Presenter: Victoria Hougham, Client Services
Polaris project adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang perannya lebih pada sebagai manager kasus. Polaris menjembatani korban untuk mengaitkan dengan lembaga-lembaga penyedia layanan baik yang dikelola oleh pemerintah maupun non pemerintah.
Lembaga ini tidak secara langsung menangani kasus, hanya merupakan pintu masuk untuk melaporkan kasus-kasus TPPO yang ditemukan baik oleh kepolisian maupun laporan dari masyarakat, kemudian Polaris yang akan mengkomunikasikan kasus tersebut dan merujuk kepada lembaga/pihak yang terkait sesuai dengan kebutuhan korban dan saksi korban.
Menurut data dan informasi Polaris juga telah menangani beberapa kasus TPPO dimana korbannya adalah orang Indonesia yang diperdagangkan ke Amerika Serikat sebagian besar dari mereka adalah korban TPPO untuk dieksploitasi sebagai pembantu rumah tangga dan mereka sebagian besar adalah Perempuan. Akan tetapi beberapa diantaranya tidak dapat diproses secara hukum karena tidak adanya komitmen dari lawyer.

3.    Pertemuan Tanggal 22 April 2014
a. US Department of Homeland Security, Homeland Security Investigations (HSI), Washington. Presenter: Donna Hatfield, HSI National Program Manager for the Victim Assistance Program. Dave Meadows, HSI Special Agent. DHS bekerjasama dengan HSI (Homeland Security Investigation). U.S. Department of State, Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons/Justice Trafficking in Persons. Presenter: Marry Ellison, Public Engagement Team. U.S. Department of Justice, National Security Division, Office of Justice for Victims of Overseas Terrorism. Presenter: Heather Cartwright, Director, and Patsy Spier, Victim Outreach Specialist
Program mengarah kepada 3P, yaitu Protect, Prevent, & Pursue.
Selain itu juga HSI memiliki program iGuardian. Para predator rata-rata menemukan korban didunia maya. Kebanyakan dari para remaja tidak mengetahui bahayanya dunia maya. iGuardian mencoba melindungi ini.
Selain itu HSI juga memiliki Virtual Global Taskforce, yang fokus melakukan perlawanan terhadap seksual komersial pada anak-anak. Selain itu juga membentuk peer support program untuk anak. HSI juga memiliki program-program dinamis lainnya sperti ICE Hero Corps. Pendekatan program adalah victim center (program berpusat pada korban), dan hal ini sesuai dengan amanat undang-undang yang ada di Amerika.
Perbedaan di USA & Indonesia, diantaranya adalah bahwa di Amerika yang menangani shelter/rumah perlindungan/panti adalah NGO, sedangkan di Indonesia masih pihak pemerintah. Disisi lain Departemen Kehakiman US memiliki dana hibah untuk penanganan human trafficking melalui LSM-LSM yang mendukung arah perubahan kebijakan kepada kebijakan publik. Kemitraan antara pemerintah, publik dengan swasta pun dilakukan di US.
Pada tahun 2000, US mengesahkan UU TPPO untuk Federal, dengan fungsi utama dilomatik & menyiapkan/menyediakan dana bagi korban-korban trafficking diseluruh dunia.
Selain itu US Government melakukan kampanye dengan MTV dan stasiun Televisi lainnya, berhubungan dan bekerjasama dengan para peneliti dan para think thank strategis, bekerja juga dengan satgas-satgas diketuai oleh Menlu US Jim Terry. Kolaborasi sistemik dengan Department Kehakiman, Department Human Health Services, Department Keamanan Dalam Negeri, dalam program Partnership for Freedom.
Diantara hak korban yang penting adalah participation in the criminal justice. Siapakah korban trafficking itu? Menurut HSI adalah orang yang mengalami kerugian dan orang yang mengalami cedera bahkan kematian.

23 April 2014: Travel to Washington Dulles Airport for flight to San Franisco, CA
KEGIATAN DI WASHINGTON DC

4.    Pertemuan 24 April 2014
a. U.S. Department of Homeland Security, HSI. Presenter: Christopher Johnson & Reye Diaz, HSI Supervisory Special Agent
Kasus-kasus terkait TPPO dan setelah ditelaah memang adalah TPPO, maka akan dilimpahkan ke Pemerintahan Federal. DHS pun melakukan investigasi sampai ke tempat-tempat lokalisasi. Jenis narkoba yang ada di tempat-tempat lokalisasi atau pelacuran yang melibatkan korban trafficking biasanya jenis Ketamine, yang memiliki dampak yang menyenangkan bagi korban trafficking, sehingga perempuan-perempuan yang dilacurkan dengan cara paksa sekalipun tidak akan merasa sakit, tapi hanya diliputi kesenangan saja.
Traffcikers memiliki pola-pola rekrutmen yang berkesinambungan, karena memang mereka membutuhkan secara terus menerus para pelacur baru.
Konsumen selalu meminta “korban” yang baru, menunjukkan bahwa permintaan/kebutuhan terhadap ‘korban’ sangat tinggi. Sehingga sirkulasi/perputaran tersebut memerlukan supply yang besar yang harus dipenuhi dari berbagai wilayah.
Skenario penyidikan yang dilakukan oleh DHS adalah: initial work-up, surveillance, use of USA, Trash Runs/Mail covers of target locations, preservation letters, wall stops/enforcement action, telephone data, interagency coordination, foreign coordination, take down phase.
Beberapa kasus trafficking di Los Angeles dan sekitarnya terbongkar karena laporan dari tetangganya. Kasus biasanya menimpa PRT (pembantu ruma tangga). Korban biasanya menyampaikan pesan berupa surat atau lainnya kepada tetangga dari majikannya, atau tetangga tersebut melihat hal-hal yang tidak lumrah yang terjadi pada korban.
b. Asian Pacific Islander Legal Outreach. Presenter: Cindy Liou, Staf Attorney.
Disampaikan bahwa API saat ini sedang menangani 15 kasus orang korban trafiking dari Indonesia. API didirikan pada tahun 1975, dan merupakan organisasi keadilan sosia berbasis masyarakat. API meyediakan pelayanan legal langsung untuk semua imigran dan populasi ethnic, tapi targetnya adalah masyarakat kepulauan asia pasifik.
c. San Fransisco Asian Women’s Shelter (AWS). Presenter: Hediana Utari, Community Projects Coordinator. Tiffany Tan, Children’s Advocate. Sabrina Fitranty, Indonesian Language Advocate.
Shelter ini menangani korban trafiking perempuan dari Asia. Shelter sangat dirahasiakan. Dapat bantuan dari pemerintah selama 8 bulan, asuransi kesehatan, transportasi bus berupa tiket bus.
Jika mereka/korban trafficking yang telah sehat dari shelter ingin bekerja, maka shelter/petugasnya mengantar korban untuk melamar pekerjaan (biasanya di restoran, mall, dll), dengan nama samaran dan dibilang korban sebagai sudara/teman dari petugas shelter yang mengantar.
Melakukan case management berupa first contact, kemudian stabilization, independent living, emotional support, reintegration into community.
Selama korban atau mantan korban trafficking telah mendapat pekerjaan, berkumpul dengan orang-orang yang baik, maka pendamping sosial/peksos mundur.

5.        25 April 2014
a. US Attorney’s Office for Northern District of California, U.S. Department of Justice – Federal Bureau of Investigations. Presenter: Candace Kelly, Chief Special Prosecutions and National Security Unit. Kevin Sherburne, Senior Supervisory Agent
Definisi traffcking/TPPO menurut FBI adalah penipuan, paksaan dan pemerasan. TPPO terbagi/terdiri dari sexual servitude, domestic servitude, forced labor.
FBI memiliki kantor-kantor diseluruh 50 negara bagian USA, dan perwakilan diluar negeri, termasuk DOJ seperti Terry di Indonesia.
Aksi perlindungan korban trafficking berdasar kepada UU TPPO US tahun 2000 adalah:
1.     Increase penalties, include death penalty
2.    Victim assistance
3.    Elimination/abuse requirements
FBI mission is partnership with:
1.     Community
2.    Services providers
3.    Law enforcement
4.   Medical
5.    Code enforcement (e.g. Department of Labor)
6.   Media
Tahapan dari Trafiking menurut mereka adalah:
1.     Recruitment
2.    Transportation and entry
3.    Delivery and marketing
4.   Exploitation
FBI selalu mencari mitra atau bermitra dalam setiap stages tersebut.
CST (Child Sex Tourism)
Merupakan salah satu program yang di kembangan Department of Justice melalui FBI, dengan latar belakang maraknya industri seks yang mempekerjakan usia anak di wilayah ASIA, khususnya Asia Tenggara. Disisi lain juga banyak pekerja seks anak di Amerika yang berasal dari wilayah Asia. Program ini diinisiasi pada tahun 2008, sebagai tindak lanjut dari The Protect Act 2003. Menurut mereka, negara-negara terbesar untuk CST adalah: Thailand, Kamboja, dan Philiphina.

D.       BEST PRACTICES

1.       Kerjasama antara penegak hukum dan LSM sangat penting mengingat kasus TPPO adalah tindak pidana dan di Amerika Serikat kasus ini merupakan kasus sangat serius, mendapat perhatian secara khusus dari semua pihak, bahkan telah menjadi agenda prioritas dari Gedung Putih, dan memperoleh perhatian khusus dari presiden Obama. Mereka melihat ini sebagai isu prioritas bagi regulasi mereka, baik secara nasional, regional maupun internasional. Task Force – Task Force (gugus tugas) untuk penanganan TPPO dibentuk, yang mengarah kepada efisiensi & efektivitas penanganan TPPO. Kecepatan tindakan hukum terhadap pelaku dan penanganan korban menjadi prioritas.

2.       Di Amerika Serikat, kerjasama antara LSM/NGO dan Pemerintah termasuk pihak penegak hukum seperti kepolisian sangat sinergi dan harmonis, satu sama lain saling membantu dengan spesifikasinya masing-masing. Pemerintah sangat mendukung program penanganan TPPO, hal ini ditunjukkan dengan mengalokasikan secara khusus anggaran untuk operasional LSM dan juga pendanaan-pendanaan lain yang terkait dengan penanganan korban TPPO. LSM dapat mengusulkan bantuan pendanaan pada instansi terkait sesuai dengan kebutuhan penanganan korban TPPO.

3.   Pihak non government, seperti misalnya LSM/NGO di Amerika Serikat, dilibatkan dalam penetapan rencana program atau regulasi penanganan TPPO. Mereka bisa ikut serta dalam pertemuan-pertemuan kongres untuk memberikan pertimbangan dan masukan terkait isu-isu TPPO di Amerika Serikat.

4.      Program yang mengarah pada pencegahan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap korban TPPO sangat kuat di Amerika Serikat. Kemungkinan korban untuk menjadi korban kedua kalinya atau re-traffick sangat kecil karena pemerintah Amerika Serikat menyediakan beberapa dukungan atau fasilitas kepada korban seperti green card. Dengan green card, korban bisa bekerja di Amerika Serikat dengan namanya disamarkan, sehingga korban betul-betul berdaya secara ekonomi dan aman dari sindikat TPPO.

5.      Peran media dan perangkat komunikasi lainnya sangat besar di Amerika Serikat, dalam upaya mendukung gugus tugas penanganan TPPO. Salah satu tindakan yang cukup efektif diantarannya adalah para pelaku-pelaku TPPO khusus pelaku eksploitasi seksual bagi anak-anak, nama dan foto mereka di posting di internet agar semua orang tahu dan itu merupakan sanksi social.

6.      Pelibatan masyarakat untuk turut serta dalam penanganan TPPO di Amerika Serikat juga sangat jelas. Media dan sarana komunikasi seperti leaflet, pamflet, spanduk dan lain-lain disebar secara sporadis dan terus-menerus. Selain memberikan pemahaman terhadap masyarakat terkait TPPO, juga membawa masyarakat untuk turut peduli dalam penanganan TPPO. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus TPPO terungkap dari laporan masyarkat.

E.        HARAPAN KEDEPAN
1.       Penguatan Task Force TPPO Indonesia, baik dari segi pembenahan & pemutakhiran data, SDM, Sarana Prasarana, Sinergi Kerja & regulasi, maupun Kemitraan strategis dengan pihak terkait di dalam negeri & di luar negeri
2.     Peningkatan capaian kinerja Task Force TPPO melalui perluasan penjangkauan, kemitraan dan optimalisasi potensi media (tulis maupun visual, social media, dll wahana tekologi informasi & komunikasi), serta optimalisasi pelibatan daerah dalam penanganan TPPO.
3.      Peningkatan kerjasama strategis secara regulasi maupun kegiatan pada konteks teritori nasional, regional maupun internasioal.



NK - "Earth Hails"
READ MORE - Tindak Lanjut Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)