Social Icons

Pages

Jumat, 14 Maret 2014

Sekilas: Menyimak Kembali BLSM dari Tautan Empirik & Regulasi Perundang-undangan

Pada (sekitar) bulan Juni 2013, tentu masih ingat adanya kebijakan Subsidi Kompensasi terhadap kenaikan harga BBM yang dilakukan Pemerintah. Salah satu kebijakan tersebut adalah Kebijakan tentang BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Beberapa kejadian akibat kebijakan ini sempat meramaikan media tulis maupun visual di negeri ini. Namun tidak semua masyarakat mengerti, apalagi memahami terkait latar belakang atau lebih tepatnya asal-usul runutan dari keluarnya kebijakan dan tindak lanjut dari kebijakan tersebut. Saya berharap tulisan ini memberikan informasi lain terkait BLSM tersebut.

Pada konteks aspek legal teknis, kebijakan BLMS merupakan bentuk tindak lanjut dari Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: B.92/MENKO/KESRA/VI/2013 perihal "Dukungan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Program-Program Kompensasi Kebijakan Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013", tanggal 13 Juni 2013.

Sebenarnya apa tujuan awal dari Program BLSM ini? Program BLSM merupakan program bantuan yang diarahkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan. BLSM tidak berdiri sendiri, ada juga program-program lain dengan tujuan yang sama. Misalnya program Subsidi Beras atau biasa disebut Program Raskin, serta program bantuan sosial lainnya.



BLSM ini akan diarahkan untuk diberikan kepada masyarakat yang memegang KPS (Kartu Perlindungan Sosial), yang akan diberikan kepada 15,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) di seluruh Indonesia, dengan total dana 11,6 trilyun. RTS sebanyak 15,5 juta tersebut adalah rumah tangga miskin dan rentan, yang merupakan 25% rumah tangga dengan status sosial terendah. Data penerima KPS tersebut bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) yang berasal dari PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) tahun 2011. KPS tersebut merupakan syarat legal sebuah rumah tangga untuk memperoleh program-program bantuan seperti program Raskin dan program-program kompensasi kebijakan penyesuaian subsidi BBM 2013 dan RAPBN-P 2013 yang telah disetujui DPR-RI, seperti Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Beberapa permasalahan yang kemudian terjadi adalah ketidaktepatan sasaran penerima BLSM dikarenakan data yang kurang akurat atau up to date. Hal ini terjadi karena data yang digunakan untuk BLSM 2013 aadalah sata PPLS tahun 2011. Data PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) di PPLS 2011 di tahun 2013 tentu saja ada terjadi perubahan-perubahan situasi atau kondisi PMKS. Bisa saja saat di 2011 PMKS tersebut dalam kondisi miskin dst, ketika memasuki 2013 kondisi miskinnya sudah berubah atau ada kemajuan ekonomi, baik oleh usahanya sendiri atau program-program bantuan yang diterimanya selama 2011-2013. Perubahan status sosial dari RTS di 2011 menjadi tidak RTS lagi di 2013 bisa saja terjadi. Pada kondisi tersebut, seharusnya penerima KPS diharuskan mengembalikan KPS kepada Kepala Desa/Lurah, untuk kemudian ditetapkan penerima KPS baru sesuai dengan prosedur yang telah dijelaskan pada Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial Nomor B.92/MENKO/KESRA/VI/2013.

Disisi lain data PPLS 2011 pendekatan sasarannya diarahkan kepada RTS yang memiliki identitas dan KK (Kartu Keluarga), sementara banyak sasaran yang sebenarnya layak memperoleh BLSM yang berada di LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial) di masyarakat maupun yang berada di masyarakat langsung tidak memiliki kelengkapan identitas seperti itu. Sehingga meskipun mereka memenuhi kriteria kemiskinan yang disyaratkan, namun tidak masuk dalam data 15,5 juta penerima KPS. Dengan fakta sosial seperti itu, dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, berimplikasi rentan konflik sosial di masyarakat, maka kedepannya diperlukan tindakan-tindakan yang relevan sebagai tindakan preventif untuk tahun berikutnya. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan diantarannya:
1. Melakukan penyempurnaan dan penyesuaian data melalui sistematika yang telah diatur dalam Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor B.92/MENKO/KESRA/VI/2013, atau kebijakan lainnya yang mensyaratkan updating/pemutakhiran data berkala, setidaknya setiap tahun.
2. Melakukan penyesuaian terhadap petunjuk pelaksanaan BLSM, yang akan mengatur secara teknis pelaksanaan BLSM di masyarakat, berkenaan dengan penggantian dan atau penambahan KPS bagi PMKS.

Dengan semua gambaran diatas, dan berangkat kepada pemahaman bahwa BLSM merupakan program penanganan fakir miskin atau penanggulangan kemiskinan, beberapa hal yang perlu jadi pertimbangan untuk kedepannya terkait BLSM, diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, yang diantaranya menyebutkan pada pasal 2 bahwa penanganan fakir miskin berasaskan kemanusiaan, keadilan sosial, non-diskriminasi, kesejahteraan, kesetiakawanan, dan pemberdayaan. Pasal 6 yang menyatakan bahwa sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang juga menyebutkan adanya asas "keadilan" di pasal 2 pada penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
3. Dalam menentukan kriteria kemiskinan, selain kondisi miskin juga dipertimbangkan aspek-aspek yang diutamakan yaitu kemiskinan yang juga mengalami keterlantaran, kecacatan, keterasingan dan ketunaan sosial. Jadi pemutakhiran data dengan penggantian penerima KPS atau penambahan penerima KPS diutamakan yang memiliki kriteria kemiskinan dengan tambahan kriteria-kriteria keterasingan, keterlantaran, kecacatan dan ketunaan sosial.



Jika tahun depan ada program serupa (saya sendiri berharap dirubah kebijakan programnya), maka gambaran diatas perlu dipertimbangkan.

Salam kemanusiaan,
NK - "Earth Hails"
READ MORE - Sekilas: Menyimak Kembali BLSM dari Tautan Empirik & Regulasi Perundang-undangan

Minggu, 09 Maret 2014

Refleksi - Kesadaran bersama Kelinguistikan

Kesadaran terhadap diri, menjadi salah satu berangkat pada sekian banyak turunan-turunan pemahaman psikologi. Bagi konteks sosiologis, hal-hal “horizontal” diluar diri menjadi aspek-aspek yang dipertimbangkan juga, kemudian pada sisi manusia sebagai makhluk berkepercayaan/religi, maka transenden ke-Tuhan-an pun menjadi hal yang perlu jadi dasar dalam keseharian. Kompleksitas sosok manusia begitu rigid dan akhirnya ruwet saat implementasi keseharian, ketika aspek-aspek psikologis-sosiologis-religi menjadi pertimbangan-pertimbangan. Keterbatasan manusaia dalam segala hal, menjadikan semua aspek itu berhadapan dengan banyak realitas keseharian manusia yang melahirkan permasalahan-permasalahan. Alur keluaran dari semua itu adalah bahwa manusia pada keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki tidak bisa menyeimbangkan ketiga aspek tersebut, harus memilih atau menetakan kecenderungan kepada salah satu aspek atau mengutamakan aspek yang mana, atau mendahulukan aspek yang mana menjadi pertimbangan utama utk kemudian menempatkan aspek lainnya menjadi nomor 2 dan 3. Pada kenyataanya, tanpa direncanakan dst pemprioritasan aspek terjadi begitu saja, refleks terhadap situasi & kondisi yang ada.


Freud membagi organisasi fisik individu kedalam 3 bagian dengan istilah ‘id’, ‘ego’, dan ‘super-ego’. Sebagai orang sosial, aku tidak terlalu percaya terhadap pembagian tersebut atas sosok manusia. Model stratifikasi Giddens lebih memenuhi logika berpikir ku.  Giddens membagi kedalam 3 stratifikasi terhdap sosok manusia yg juga anggota dari sebuah masyarakat, yaitu sistem keamanan dasar, kesadaran praktis dan kesadaran diskursif.
Pada konteks Freud, dia menganggap manusia sebagai agen, namun sering juga mengatakan id, ego dan super-ego sebagai agensi-agensi dalam individu itu. Freud dalam tulisan-tulisannya sebelum tahun 1920-an seringkali menggunakan istilah ‘das Ich’ untuk mengacu pada orang secara utuh, maupun untuk menetapkan bagian jiwa (mind). Pergeseran-pergeseran penggunaan itu pun berlaku pada ‘super-ego’, yang kadang diperbedakan dengan gagasan lain, yaitu ‘ego-ideal’. Beberapa peralihan dan ketidak-konsistenan terminologi tersebut menunjukkan ada beberapa kesulitan konspetual yang agak parah.  Misalnya: Freud mengatakan das Ich merupakan bagian dari Jiwa (mind). Lalu bagaimanakah Freud bisa mengatakan hal-hal seperti itu sehingga ‘ego’ memutuskan tidak mengakui gagasan yang  tidak cocok? Apakah keputusan ‘ego’ tentang beberapa jenis proses itu ada dalam miniatur keputusan ‘ego’?  Ini menjadi tidak masuk akal. Freud juga menulis diantaranya ‘kemauan ego untuk tidur’. Meskipun tidur terjadi, namun tubuh masih terus ‘bertugas’ melindungi keluaran jelek dari ‘ketidaksadaran’ (the unconscious), dengan tetap ‘menjaga’ tidur si pemimpi. Juga muncul jenis pertanyaan yang sama, siapakah yang dilindungi sang ‘penjaga’? dst. Pertimbangkanlah karakterisasi paling umum tugas-tugas ‘ego’ yang dikatakan Freud. ‘Ego’ memiliki tugas ‘penyelamatan diri’, yakni menjalankan tugasnya dengan belajar melakukan perubahan-perubahan di dunia eksternal demi keuntungannya sendiri. Namun “diri” mana yang dipertahankan ‘ego’? apakah keuntungannya juga keuntagan diri sendiri?

Satu taktik tradisional diantara interpreter Freud adalah menerima gagasan bahwa ada penggunaan-penggunaan antropomorfis yang salah kaparah dalam tulisan-tulisan Freud, namun penggunaan tersebut bisa ditiadakan jika kita memahami ‘id’, ‘ego’ dan ‘super-ego’ dengan mengacu pada proses atau daya. Namun cara seperti inipun tidak banyak membantu, karena konsep-konsep seperti itu tidak memungkinkan kita bisa memahami dengan tepat hakikat agensi manusia. Kemudin Freud mengatakan tentang aliran hodrolis, kebuntuan energi dsb, namun semuanya itu menyulap jenis konsepsi mekanis asal muasal perilaku manusia yang berkaitan dengan bentuk paling naif pada obyektivisme. Bagian persolan tersebut terletak pada penggunaan istilah ‘id’, ‘ego’ dan ‘super-ego’, yang masing-masing memiliki beberapa konotasi tentang agensi. Masing-masing merupakan miniagen dalam agen seperti itu . Membuang istilah ‘id’ dan ‘super-ego’ mungkin bisa membantu, namun harus dilengkapi dengan pengakuan karkter yang jelas, yaitu ‘das Ich’ atau ‘aku’.

Para strukturalis menyarankan untuk melakukan ‘jalan memutar’ untuk bisa menghubungkan ‘aku’ dengan agensi, berdasarkan desentralisasi subyek, tanpa mencapai kesimpulan-kesimpulan yang memperlakukan subyek hanya sebagai tanda dalam suatu struktur signifikasi. Bagaimanapun pembentukan ‘aku’ terjadi hanya melalui wacana orang lain, yaitu melalui pemerolehan bahasa, dengan mengaitkan ‘aku’ dengan benda/tubuh sebagai bidang tindakan. Istilah ‘I’ atau ‘aku’ dalam pengertian linguistik merupakan penggeser/shifter. Kontekstualitas pengaturan posisi sosial menentukan ‘I’ dalam sembarang situasi perbincangan. Meskipun kita mungkin cenderung menganggap berdasarkan pada aspek-aspek paling kaya dan akrab, dalam satu sisi dia merupakan salah satu istilah paling kosong dalam bahasa. Karena ‘I’ hanya mengacu ke siapa yang sedang bertutur, ‘subyek’ suatu kalimat atau ujaran.
Seseorang yang telah menguasai penggunaan ‘I’ juga sangat bisa telah menguasai penggunaan ‘me’, jika dia menguasai secara sintaksis kedua bahasa yang berbeda tersebut. Karen saya harus mengetahui bahwa saya adalah ‘I’ (aku) ketika saya bertutur pada ‘you’ (anda), tapi bahwa anda merupakan ‘I’ ketika anda bercakap-cakap dengan ‘me’, dan bahwa saya adalah ‘you’ ketika anda bercakap-cakap denganku, dst. Bahwa pada dasarnya penggunaan demikian bukanlah merupakan ketermpilan-keterampilan linguistik yang merupakan jenis keterampilan yang sangat rumit, namun lebih memerlukan kendali tubuh yang sudh diramifikasi dan pengetahuan yang maju tentang bagaimana ‘berbuat sesuatu’ dalam pliralitas konteks-konteks kehidupan sosial.

Yang jelas memonitor secara refleksif suatu tindakan dalam kehidupan sosial itu diperlukan. Pentingnya memonitor tindakan dalam kesinambungan kehidupan sosial tidak berarti mengingkari signifikansi sumber-sumber kesadaran kognisi dan motivasi . Namun hal ini melibatkan pemberian perhatian pada diferensiasi yang memisahkan keadaan ‘sadar’ dengan ‘tidak sadar’.

NK - "Earth Hails"
Thanks for Giddens
READ MORE - Refleksi - Kesadaran bersama Kelinguistikan

Jumat, 07 Maret 2014

Fakta Lain "Rokok" di Indonesia & Konvensi Kontrol Tembakau

Rokok, sebuah kata yang begitu familiar di masyarakat kita, sangat terkenal, melebihi ketenaran tokoh manapun. Dari usia anak sampai usia lanjut/lanjut usia mengenal rokok, meskipun tidak semua dari mereka merokok, tapi mereka mengenal benda yang bernama rokok tersebut.


Apa sih rokok itu? sederhana saja, benda yang berbentuk batangan silinder seperti selang kecil yang berdiameter sebesar..apa ya, ya sebesar sebatang rokok lah, hehee, aku yakin pemabaca tau yang aku maksud. Bahan baku rokok adalah tembakau, tapi bukan tembakaunya yang dikonsumsi, melainkan asapnya. Heran juga ya, asap di konsumsi. Jadi tembakau berbentuk rokok tersebut dibakar dan dihisap asapnya, selebihnya terangkan sendiri :D.

Tak perlu berpanjanglebar menerangkan tentang rokok, hanya buang-buang waktu saja, semua sudah paham. Maksud dari tulisan ini tidak untuk mengupas benda yang bernama rokok secara fisik. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan dan mengupas beberapa realita/fakta sosial penting terkait rokok, khususnya di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bersama, konsumsi roko di Indonesia terus meningkat, peningkatan konsumsi rokok ini sangat signifikan. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia setelah China dan India. Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011, sebanyak 67,4% laki-laki dewasa dan 4,5% perempuan dewasa Indonesia atau 61,4 juta orang dewasa merupakan perokok. Sebanyak 92 juta warga Indonesia terpapar asap rokok orang lain (perokok pasif/secondhand smoke), 43 juta diantaranya merupakan anak-anak termasuk 11,4 juta anak usia 0-4 tahun.

Pada tahun 2003, Indonesia telah berpartisipasi dalam penyusunan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dan aktif sebagai "Drafting Committee" pada sidang Intergovernmental Negotiating Body keenam. Delegasi Indonesia terdiri dari perwakilan Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, dan Badan POM, namun Indonesia tidak ikut menandatangani FCTC hingga batas waktu pembubuhan tanda tangan berakhir. Total 194 negara anggota WHO, 176 negara sudah menandatangani dan meratifikasi/aksesi FCTC. Sembilan negara sudah menandatangani, tetapi belum meratifikasi/aksesi FCTC. Sementara dari negara anggota OKI, hanya Indonesia dan Somalia yang belum menandatangani dan belum ratifikasi/aksesi FCTC. Untuk regional Asia, Indonesia satu-satunya negara yang belum meratifikasi/mengaksesi FCTC.


Sebagai bagian dari warga dunia dan peradaban internasional, Indonesia jelas seharusnya terlibat dan meratifikasi/aksesi FCTC tersebut. Sebagai negara besar, dengan penduduk yang juga besar, dan merupakan negara terbesar ketiga yang penduduknya perokok, Indonesia memiliki peranan dan kepentingan yang signifikan, bukan hanya sebagai warga dunia, akan tetapi juga untuk kepentingan & kebaikan warga negaranya.

Bagaimana kelanjutan dan fakta terkininya? jika peduli, ada baiknya kita concern dan memantau perkembangan terkait ini.
 
Salam Kemanusiaan.
NK - "Earth Hails"
READ MORE - Fakta Lain "Rokok" di Indonesia & Konvensi Kontrol Tembakau