Social Icons

Pages

Senin, 22 Juli 2013

Kisah Telanjang & Realitas Keseharian pada Kejujuran yang "Bugil"

Berikut ini adalah sebuah kisah/novel singkat karya Lan Fang, berjudul "Perempuan Abu-Abu". Penulis Lan Fang sempat menginspirasi saya melalui tulisan-tulisan di beberapa novel singkatnya yang cerdas menurut saya . Tulisan dia begitu mengalir, menohok dan seringkali juga menggebu tanpa harus takut kepada rambu-rambu konvensional penyampaian tulisan. Seperti juga kisah "Perempuan Abu-Abu" dibawah ini. Kemenderuan kemerdekaan diri bergulat dalam ketersesakan keterbatasan sosok yang mencoba dilompatinya dengan tanpa ragu. Sebuah kisah dari kejujuran "telanjang", kebugilan yang mungkin positif pada satu sisi, namun juga warna negatif jika dilihat dari nilai-nilai mendasar yang dianggap "ketimuran" ataupun "religi". Terserah anda menafsirkannya atau melihatnya dari sudut pandang masing-masing. 

Sebuah transformasi nilai sosial yang termaktub kata demi kata, kalimat demi kalimat, dengan pola dan aksentuasi penyampaian yang sangat lugas dan berani. Adrenalin sosial dari fakta & realitas kehidupan. Selamat menikmati...

Salam,
Nursyamsu Kusuma - "Earth Hails"


PEREMPUAN ABU-ABU
karya: Lan Fang 

Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu.


“Apakah aku pelacur?” Perempuan itu bicara kepadaku.

“Kamu pelacur bukan?” Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.


“Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?” Ia bertanya lagi.

“Tidur dengan lebih dari satu laki-laki,” sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa menoleh.

“Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?” Ia masih mendebat. “Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?” Ia nyerocos tanpa jeda.


Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat ini aku sedang tidak ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang bisa memberikan imajinasi untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah jalan.


Tetapi, alamak…!

Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.


“Bagaimana?” Ia mengejarku dengan pertanyaannya.

“Apanya yang bagaimana?” Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri.


“Apakah aku pelacur?” Ia mengulangi pertanyaannya.

Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.

Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.

“Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…” Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.


“Ya,” sahutku dengan nada berat dan sangsi.

Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.


“Sebenarnya kamu siapa?” tanyaku pada akhirnya.

“Apakah itu perlu buat kamu?” Ia balik bertanya.


Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setiap saat. Aku pengarang yang sedang mati kata.

“Baik. Panggil saja aku Maya.” Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku.

“Maya? Nama kamu Maya?”

Perempuan itu tertawa. “Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan “Maya” artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa….”


“Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!” tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu.




Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka blouse-nya, menampakkan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per satu. Sampai ia telanjang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Seperti patung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat di pameran. Aku meneguk air liur sampai jakunku turun naik.


“Apa yang kau lihat?” Suaranya bertanya setengah mendesah.

“Warna tubuhmu…” Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain.

“Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?”

Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Perempuan ini sekarang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap laki-laki bila berhadapan dengan perempuan telanjang di depannya?


“Abu-abu…,” gumamku.

Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. “Kenapa tidak kau tulis?”


Astaga!

Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak birahi.

“Buka matamu…Kenapa harus menutup mata bila kau ingin melihat sampai ke dalam?” Suaranya mesra merayu.

Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu.


Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya menjelajahi rongga mataku lalu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku ke dadanya. Meletakkan di atas payudaranya yang sebelah kiri.


“Kata dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau lihat ada apa di jantung hatiku?” ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya menghangati daun telingaku.


Bola mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam dadanya, masuk ke dalam tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya.

Astaga!

“Apa yang kau lihat?” Ia masih berbisik seperti angin.


“Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu….”

“Ya, kenapa?”


“Berwarna abu-abu,” sahutku gamang.

Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari atas dadanya dan mengembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka mataku. Dan lagi-lagi aku bersirobok pandang dengan sepasang mata berwarna abu-abu yang menumpahkan berlian-berlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa menghirup napasnya yang segar. Dan ketika berlian-berlian jatuh bergulir menetes pula di pipiku lalu mengalir ke bawah, kutadah dengan tanganku.


“Air matamu juga abu-abu,” kataku sambil melihat butiran-butiran berlian di tanganku.

Ia tersenyum antara tawa dan tangis.


“Kenapa semua berwarna abu-abu?” tanyaku pada akhirnya.

“Karena semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak putih tetapi aku tidak sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik daripada hitam? Bukankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang mengatakan aku hitam semuanya berwarna putih?” Berlian-berlian abu-abu bercucuran di pipinya yang kelabu.


“Kenapa mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu pelacur? Apakah kamu tidur dengan lebih dari satu laki-laki?” Kali ini aku mengejarnya.


Sekarang dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk sambil bersidekap dada. Tetapi masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku rasa, lebih baik ia tidak usah mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang bulat di depanku walaupun dengan seluruh warna abu-abu.


“Menurutmu, siapakah Yudistira?” Ia bertanya sambil mengambil rokok di tanganku. Lalu dengan sebuah gerakan yang sensual ia mengisap rokokku dan menghembuskannya membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil. Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu.

“Yudistira? Hm…ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana,” sahutku.

Kali ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan telanjang bulat walaupun dia berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan.


“Oh, begitu menurutmu?!” Ia membelalakkan matanya yang abu-abu dan dari suaranya kudengar nada sumbang.

“Ya. Cuma Yudistira yang mencapai nirwana,” sahutku. “Cuma Yudistira dan seekor anjing,” tambahku cepat.


“Kalau begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu sama dengan anjing!” Ia memotong cepat dan ketus.

“Lho?!” Aku terperangah.


“Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!” Ia kembali nyerocos dengan berapi-api.

Aku terdiam tidak mampu menjawab.

Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat laptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahnya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakhir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah.


Astaga! Lidahnya juga abu-abu!

“Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?” Ia bertanya dengan lidah abu-abunya.


“Ng…Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah judi dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Duryudana…,” jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut perempuan itu.


Perempuan itu mendengus. “O…, begitu menurutmu. Drupadi begitu putih,” ujarnya dengan nada sinis. “Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?” sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan matanya yang abu-abu.

Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah.


“Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh dan tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekaligus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?” Ada luka menganga di mata abu-abunya.


“Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira, suaminya?” Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.

“Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?” Ada luka dan darah membanjir dari jantung hatinya.

Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melihat perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warna merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung hatinya, air matanya. Darah!


“Apakah aku pelacur?” Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya.

Aku merasakan dadaku sesak.


“Apakah kamu Drupadi?” tanyaku sengau.

“Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang tertulis lebih jujur dari kata yang terucap.”


Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengembara ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah.

Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas darah…

.
READ MORE - Kisah Telanjang & Realitas Keseharian pada Kejujuran yang "Bugil"

Rabu, 17 Juli 2013

Gepeng Musiman, Sebuah Realita Sosial di Bulan Ramadhan, 2013

Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan  bermuara pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya (Chambers, 1983).

Tingginya tingkat urbanisasi ke Jakarta memberikan banyak dampak negative, termasuk diantaranya permasalahan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Kondisi ini ditengarai terjadi karena kurangnya lapangan pekerjaan di desa atau tempat asal Gepeng, disisi lain menariknya kabar tentang Kota yang memberikan banyak harapan dan impian. Urbanisasi tersebut seringkali tidak diiringai dengan kesiapan mental, skill dan pendidikan para pelaku, sehingga mengakibatkan mereka terjebak pada kondisi tidak berdaya dalam persaingan hidup yang memang sangat ketat di Ibu Kota Jakarta. Akhirnya banyak diantara mereka menggelandang dan melakukan pekerjaan sebagai pengemis. Namun disatu sisi, kita juga tidak boleh melupakan aspek budaya/mental dari para urban yang bekerja sebagai pengemis tersebut. Misalnya sikap malas, tidak malu, dan hal-hal lain yang tidak konstruktif.

Fakta Gepeng ini disisi lain bisa memicu kriminalitas, tingginya biaya hidup di Jakarta, bisa memicu gelandangan melakukan tindakan-tindakan criminal seperti perampokan dll. Namun ada satu fenomena menarik terkait Gepeng di Jakarta, terutama Gepeng musiman. Yang dimaksud gepeng Musiman ini adalah Gepeng yang berbondong-bondong ke Jakarta pada saat-saat tertentu, terutama di hari-hari besar seperti Lebaran Haji, Lebaran Cina, termasuk Ramadhan sampai ke Lebaran idul Fitri. Ramadhan denan Idul Fitri nya menjadi sangat mencolok, karena rentang waktu yang lama (sebulanan) dan banyaknya perlikau shodaqoh public yang menguntungan kan mereka selama sebulanan tersebut.


Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dan teks literature yang ada,  menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya Gelandangan & Pengemis (Gepeng), namun bisa di kategorikan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal pada umumnya terdiri dari kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat keterampilan, dan sikap mental atau budaya. Sedangkatn factor eksternal meliputi kondisi tempat asal/daerah asal Gepeng, akses terhadap informasi dan modal usaha, kondisi permisif/rasa belas kasihan masyarakat kota terhadap Gepeng, penanganan Gepeng di kota yang belum optimal/integrated. Faktor-faktor penyebab ini bisa terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Ada dua aspek besar yang terlibat dalam permasalahan Gepeng, selain individu Gepeng itu sendiri, yaitu aspek daerah asal dan aspek daerah tujuan/kota tujuan Gepeng. Penanganan Gepeng harus mencakup dua aspek tersebut. Tidak hanya menangani Gepeng di kota tujuan, akan tetapi juga daerah asal Gepeng tesebut, agar tidak terjadi lagi urbanisasi ke kota sebagai Gepeng.

Fakta dan Data

Menjelang bulan Ramadhan sampai dengan Idul Fitri, dari tahun ke tahun Gepeng di Jakarta mengalami peningkatan dari hari biasanya. Seolah-olah telah menjadi rutinitas tahunan, pelonjakan jumlah Gepeng selalu terjadi menjelang Ramadhan sampai Idul FItri terjadi. Kondisi ini disinyalir karena nuansa Ramadhan menjadikan intensitas beramal public meningkat (perilaku permisif), disisi lain kebutuhan persiapan Idul Fitri menjadikan para urban Gepeng tersebut mencari penghasilan di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya (jabodetabek). DKI Jakarta menjadi target utama Gepeng, selain merupakan kota besar/ibu kota, juga kepadatan penduduknya memberikan kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan penghasilan lebih kepada para Gepeng.

Data tahun 2012, hasil pantauan dari Kemensos, di DKI Jakarta terdata sebanyak 1.930 Gepeng, yang sebenarnya mereka tidak miskin, hanya memanfaatkan moment bulan Suci Ramadhan, dimana umat muslim Jakarta banyak yang melakukan sedekah. Biasanya 20 hari menjelang Idul Fitri, akan semakin meningkat jumlah Gepeng yang berasal dari kantong-kantong Gepeng yang telah diketahui sebelumnya, yaitu Indramayu, Cirebon dan Brebes (sumber Biro Humas Kemensos 2012).

Dari beberapa sumber informasi dan penelitian, disebutkan bahwa penghasilan Gepeng di DKI Jakarta perhari rata-rata antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,- an. Salah satu hasil interview terbuka dengan salah satu Gepeng, mengatakan bahwa minimal penghasilan mereka adalah Rp 300.000,-. Di daerah Bulungan, blok M, pedagang Kaki Lima menyatakan bahwa pengemis yang berkeliaran di wilayah tersebut per hari rata-rata memperoleh Rp 700.000,- an, mereka sering menukar recehan hasil mengemis ke para pedagang kaki lima disitu. Sehingga dirata-ratakan penghasilan para pengemis di DKI Jakarta perbulan diatas 15 juta Rupiah.

Pemprov DKI sendiri telah menetapkan sekitar 55 titik-titik rawan Gepeng. Adapun titik-titik rawan Gepeng di wilayah DKI Jakarta adalah:
1.   Jakarta Pusat; meliputi perempatan Coca-Cola, Simpang Lima Senen, Sawah Besar, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jatibaru, Pramuka Raya, Pasar Genjing, Gajahmada-Hayamwuruk, Perempatan Harmoni, dan kawasan Sabang.
2.   Jakarta Utara; meliputi Jl. Yos Sudarso, Pos 8/9, Jl. Raya Cilincing, Stasiun Tanjung Priok, Gunung Sahari, Ancol, Lodan, Kp. Bandan, Perempatan Kelapa Gading, dan Perempatan Rumah Duka Atmajaya, Pluit.
3.   Jakarta Selatan; meliputi perempatan lampu merah CSW, Fatmawati, Blok M, Kebayoran Lama, Pancoran, Terminal Manggarai, Terminal Pasar Minggu, kawasan Lenteng Agung, Pesanggrahan, dan kawasan Bintaro.
4.   Jakarta Barat; meliputi Terminal Bus Grogol, perempatan Tomang, Slipi, Cengkareng, perempatan Kebon Jeruk, Tambora, Kali Besar Barat, Tamansari, dan Stasiun Kota.
5.   Jakarta Timur; meliputi Jalan Pemuda, Pramuka, Rawamangun, Pulogadung, Cakung, Jatinegara, Taman Viaduk, Barkah, Halim Perdana Kusuma, Jl. Raden Inten, Cililitan, Buaran, Perempatan TMII, Pasar Rebo, dan kawasan Matraman.
Para Gepeng tesebut biasanya berasal dari Bogor, Sukabumi, Garut, Purwakarta, Tegal, Brebes, Cirebon dan Indramayu.

Upaya yang Dilakukan

Peningkatan jumlah Gepeng pada bulan Ramadhan telah menjadi rutinitas setiap tahun. Kementerian Sosial bekerja sama dengan Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta telah melakukan kerjasama dari tahun ke tahun untuk mengatasi permasalahan ini. Penanganan Gepeng musiman ini dilindungi oleh Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, sehingga telah menjadi kewajiban Pemprov DKI Jakarta untuk mentertibkannya, baik melalui satuan-satuan yang dimiliki seperti Satpol PP, dan perangkat kerja lainnya yang terkait. Disisi lain dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, penanganan Gepeng pun menjadi tanggungjawab bersama dan membutuhkan kerja sama lintas sector.

Dalam menghadapi fenomena Gepeng musiman di tahun 2013 ini, Kementerian Sosial dan Dinsos Pemprov Jakarta telah bekerja sama melakukan pantauan di delapan belas titik rawan Gepeng diantaranya meliputi Perempatan Matraman, Perempatan Pramuka, Perempatan Cempaka Putih, Perempatan Kelapa Gading, Perempatan Taman Mini Indonesia Indah/TMII, kawasan Fatmawati, Salemba, Cengkareng, Tomang, Slipi, Perempatan Blok M, serta Perempatan Mampang Kuningan. Kemensos dan Dinsos DKI Jakarta membuat tim gabungan yang terdiri dari  personil Dinsos DKI Jakarta, para Pekerja Sosial, dari LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial), TKSK, dari Ormas seperti PPM (Pemuda Panca Marga), dan perwakilan masyarakat yang peduli dan mau terlibat dalam penanggulangan Gepeng ini. Tim gabungan ini terdiri dari 8 sampai dengan 15 personil. Mereka perhari memperoleh insentif dengan 'kisaran' sebesar Rp 75.000,-.

Selain membentuk tim gabungan tersebut, Kemensos dan Dinsos DKI Jakarta pun melakukan pemulangan para Gepeng yang terjaring ke kampung nya masing-masing. Sebelum dipulangkan mereka di tampung di Panti-Panti Sosial milik Dinsos DKI Jakarta yang berjumlah 27 Panti lebih. Mereka memperoleh bimbingan keterampilan dan upaya rehabilitasi sosial lainnya. Diharapkan upaya yang merupakan upaya persuasive sekaligus rehabilitative ini akan mengurangi kuantitas Gepeng sekaligus mengurangi ketergantungan mereka ke kota besar, dengan berkarya di daerahnya masing-masing. Semua upaya dilakukan melalui kerjasama dan integrasi dana dekon (APBN-Kemensos) dan APBD Dinsos DKI Jakarta.

Kementerian Sosial dalam hal ini Ditjen Rehabilitasi Sosial, dari tahun ke tahun terus melakukan upaya terbaik dalam penanggulangan PMKS, termasuk Gepeng ini. Dari dulu Kemensos telah melakukan upaya-upaya sinergis, berkelanjutan dan strategis, diantaranya melakukan Penertiban Gepeng yang memang diatur dalam Kepres Nomor 40 tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, melalui Keputusan Bersama antara Menteri Transmgrasi dan Menteri Sosial dengan nomor SKB.102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial), termasuk permasalahan Gepeng.

Sampai saat ini penanganan Gepeng yang dialokasikan melalui dana dekon dan APBD masih terintegrasi dalam program penanganan PMKS Tuna Sosial, yang didalamnya terdapat Gepeng. Dengan perbedaan prioritas pembangunan antar wilayah, khususnya wilayah asal Gepeng, maka seringkali isu Gepeng bukan menjadi perhatian utama diantara PMKS Tuna Sosial bagi beberapa Pemda. Hal ini menimbulkan ketidak-sinergian upaya yang dilakukan. Diharapkan kedepannya dialokasikan secara khusus komponen biaya kegiatan penanganan Gepeng, tidak terintegrasi dalam penanganan Tuna Sosial, baik di dekon maupun APBD, khususnya komponen kegiatan penanganan Gepeng berbasis masyarakat di wilayah-wilayah rawan Gepang dan wilayah-wilayah sumber asal Gepeng. Semoga penanganan Gepeng kedepan lebih koordinatif dan berkesinambungan serta sinergi satu sama lain.


Nursyamsu
NK - "Earth Hails"
READ MORE - Gepeng Musiman, Sebuah Realita Sosial di Bulan Ramadhan, 2013

Selasa, 16 Juli 2013

PROGRAM RUMAH RAMAH (R2)

PENANGANAN PENYANDANG DISABILITAS MENTAL PSIKOTIK (PDMP)`
BERBASIS KELUARGA DAN KOMUNITAS
(MELALUI PENDEKATAN PEKERJAAN SOSIAL)


Rasionalisasi

Proses pembangunan yang terjadi selain memberikan banyak pengaruh positif, juga memberikan imbas negative, hal ini sudah menjadi kewajaran, selalu ada dua sisi dalam setiap tindakan. Upaya eliminasi dampak negative menjadi salah satu tugas penting dari upaya Rehabilitasi Sosial. Percepatan pembangunan yang terjadi, ketika tidak bisa diimbangi oleh kesiapan individu-individu yang ada didalamnya, telah mengakibatkan stress dan depresi dalam kesehariannya. Hal ini mengakibatkan permasalahan gangguan jiwa. Perkembangan permasalahan gangguan jiwa atau dalam istilah Kementerian Sosial adalah Penyandang Disabilitas Mental Psikotik, menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun.

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi. Misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau, yang merupakan hambatan dalam melakukan fungsi sosialnya di masyarakat. Diantara jenis psikotik adalah Skizophrenia, yang merupakan gangguan psikotik akut/kronik, dimana orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Semua jenis gangguan jiwa atau mental health/mental illness tersebut itulah oleh Kementerian Sosial disebut sebagai Penyandang Disabilitas Mental Psikotik (PDMP).

Kondisi PDMP sangat labil, rentan dan sebenarnya sangat membutuhkan motivasi/dukungan dari keluarga dan masyarakat. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan keluarga rata-rata merasa malu mempunyai anggota keluarga yang PDMP, merasa terbebani, lebih suka menyerahkan tanggungjawab ke pihak lain, bahkan merasa keberatan menerima kembali PDMP pasca rehab karena kekhawatiran-kekhawatiran dan rasa malu tadi. Kondisi tersebut akhirnya menjadikan PDMP terlantar atau ditelantarkan, menerima banyak ketidakadilan dan tindak kekerasan, bahkan juga dipasung.

Konvensi Hak Penyandang Cacat yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 19 tahun 2011, memberikan perlindungan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup layak dari para penyandang disabilitas, termasuk didalamnya penyandang cacat mental psikotik. Konvensi tersebut menyepakati dan menyatakan dengan jelas di Pasal 1, bahwa tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka. Orang-orang penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.

Kemudian di Pasal 2 Konvensi tersebut menyatakan bahwa “Akomodasi yang layak” berarti modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan dan layak yang tidak memberikan beban yang tidak seimbang atau tidak semestinya ketika diperlukan dalam kasus-kasus tertentu, untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar orang-orang penyandang cacat berdasarkan kesetaraan dengan orang-orang lain. Perbaikan dan peningkatan aksesibilitas dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keseharian menjadi prinsip umum di pasal 3 point ‘f’ sebagai salah satu prinsip konvensi tersebut. Kewajiban Negara yang tertera di Pasal 4 Konvensi tersebut dengan gamblang memastikan bahwa Negara wajib menjamin dan memajukan pemenuhan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar semua orang penyandang cacat tanpa diskriminasi atas dasar kecacatan mereka semua upaya harus diarahkan secara maksimal dalam pemenuhan hal tersebut.

UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial di pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Dan pada pasal 7 ayat 1 point ‘h’ PP No. 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, disebutkan adanya Bantuan Sosial dan Asistensi Sosial sebagai bentuk dari Rehabilitasi Sosial.
Semua penjelasan tersebut telah merujuk kepada hak terpenuhinya kebutuhan dasar dari PDMP. Melalui Program Rumah Ramah, diharapkan aspek-aspek kebutuhan dasar PDMP bisa terpenuhi.

Data dan Realita

Jumlah PDMP berat dari data Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi nasional gangguan jiwa berat adalah 0,46 % dari total penduduk, atau lebih dari 1 juta orang. Sementara prevalensi gangguan mental yang sifatnya emosional (seperti depresi, cemas, stress), dengan usia 15 tahun keatas, itu berjumlah 11,6% dari total penduduk, atau sekitar 19 juta orang.

Pada tahun 2012 data penderita gangguan jiwa berat (istilah Kemensos Penyandang Disabilitas Mental Psikotik/PDMP) lebih dari 1 juta jiwa/0,46% dari total penduduk. Dan jumlah penderita gangguan jiwa ringan mencapai 19 juta jiwa/11,6% dari total penduduk Indonesia. Gangguan jiwa ringan ini adalah ketidakstabilan emosional termasuk depresi/stress (data Kemenkes). Dari jumlah tersebut, diantaranya adalah korban pasung. Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes, Diah Setia Utami mengatakan bahwa jumlah pemasungan di Indonesia cukup tinggi, berkisar 18.000 sampai dengan 20.000 kasus pemasungan. Tentu angka-angka tersebut pada konteks sosial adalah angka-angka dipermukaan pada fenomena gunung es. Artinya angka yang sesungguhnya jauh melebihi angka-angka tersebut.

Kemensos bekerja sama dengan Kemenkes terus melakukan penanggulangan issue Pasung ini. Data penanganan yang masuk dari tahun 2010 – 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun
Kasus Korban Pasung yang Ditemukan
Korban Pasung yang Telah Dibebaskan
Prosentasi Keberhasilan
Keterangan
2010
383
238
62%

2011
1139
990
87%

2012
880
524
59%

2013
799
456
57%
s.d Mei 2013

Untuk tahun 2013 data yang masuk sampai dengan bulan Mei. Dan ini akan terus di update dari sumber data Kemensos dan Kemenkes.


Total data Korban Pasung yang ditemukan dari 2010 – 2013 adalah 3201 kasus, dan yang dibebaskan 2208 kasus. Berarti keberhasilan bebas pasung adalah 69%. Disandingkan dengan data total korban pasung dari Kemenkes, yaitu sebesar 18.000 kasus, maka kita baru menjangkau 18% saja.

Update data yang masuk ke TRC, sampai dengan Juni ini telah masuk korban pasung yang telah dibebaskan sebanyak 77 orang.

Kesimpulan dalam program bebas pasung 2014, Kemenkes telah merealisasikan 69% dan dukungan dari Kemensos melalui 3 Panti dengan penjangkauan TRC Kemensos adalah 18% dari total orang dengan gangguan jiwa sebanyak 18.000.

Data-data tersebut adalah data yang terakses atau tercatat atau terlaporkan. Pada kontek permasalahan sosial, data yang muncul merupakan fenomena Gunung Es, yang tak terdata jauh lebih banyak dari yang terdata. Dengan program Rumah Ramah (R2) akan bisa menyingkap fakta PDMP yang masih banyak tersembunyi atau belum terungkap, karena mereka berhak memperoleh perlakuan sosial yang sama dan baik.

Disisi lain, realitas/fakta lapangan berupa temuan-temuan, data-data informasi secara langsung maupun melalui media menunjukkan dengan jelas bahwa penyandang disabilitas mental psikotik (PDMP) di Indonesia memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka dikucilkan dari kehidupan sosial keluarga dan masyarakat, bahkan banyak yang mengalami pemasungan. Seluruh waktu hidupnya berada dibawah naungan stigma yang sangat negative. Dengan semua kondisi tersebut, pemenuhan kebutuhan hidup menjadi sangat terhambat. Penikmatan hak hidup sebagai makhluk sosial telah dirampas. Pelaku perampasan adalah keluarga dan masyarakatnya sendiri karena situasi tertentu dan ketidakpahaman. Mereka tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebaliknya. Mereka mengalami diskriminasi yang sangat ekstrem.

Rata-rata keluarga dengan PDMP tidak memahami hal-hal terkait PDMP, dan tidak menyadari pentingnya posisi keluarga bagi kebaikan medis dan sosial dari PDMP. Begitu pula dengan linkungan/komunitas/masyarakat dimana PDMP tinggal. Mereka belum memiliki pemahaman yang benar dan kesadaran pentingnya perlakukan/respon masyarakat terhadap keberadaan PDMP. Melalui program R2 ini semua potensi tersebut akan menjadi bagian yang terintegrasi satu sama lain, untuk melahirkan layanan rehabilitasi sosial terbaik bagi PDMP.


Konsep dan Arah Penanganan PDMP

Konsep penanganan PDMP harus melihat kepada aspek-aspek mendasar yang melatarbelakangi konteks PDMP sebagai berikut:
1.      Pemicu terjadinya DMP (Disabilitas Mental Psikotik) pada umumnya terkait permasalahan eksistensi diri, baik secara sosial maupun ekonomi. Ini terkait dengan hal-hal seperti kehilangan arah pada pencarian jati diri, terjadinya gap antara terbatasnya kemampuan/pemenuh kebutuhan terhadap kebutuhan/harapan yang ingin dipenuhi, dll.
2.    Latarbelakang munculnya PDMP juga diakibatkan karena kondisi kehidupan yang tidak memiliki kesehatan sosial, baik pada level keluarga maupun pada level masyarakat (termasuk didalamnya aparat pemerintahan). Salah satu akibat dari buruknya kesehatan sosial adalah memunculkan kurangnya tanggungjawab sosial.
3.  Konteks PDMP juga diakibatkan oleh lack of knowledge (kurang nya pengetahuan/pemahaman) dari masyarakat terkait DMP.
4.     Disisi lain, tetapi bukan varian yang stabil, DMP diakibatkan oleh kejadian-kejadian sekitar yang mempengaruhi seseorang secara dahsyat, seperti trauma (baik kecelakaan, bencana, dll), juga imbas dari kondisi sosial ekonomi politik negara yang memberikan akibat terhadap keberlangsungan hidup nya. Misalnya peristiwa resesi ekonomi di tahun 1999 an. Permasalahan tidak terletak pada kejadian peristiwa nya, akan tetapi kesiapan individu menghadapi benturan-benturan tersebut.
5.       Adanya factor keturunan. Ini bersifat kecenderungan pada kerentanan terhadap gangguan jiwa/DMP


Detail Program

1.       Nama Program: R2 (Rumah Ramah)
Yaitu Penanganan PDMP berbasis keluarga dan komunitas/masyarakat dimana PDMP tinggal, melalui kegiatan Penyadaran dan Rehabilitasi Sosial, juga berupa penguatan sosial-ekonomi household (keluarga/rumah tangga).

2.       Tujuan Program:
a.       Menempatkan kembali PDMP pada sturktur dan fungsi keluarga yang semestinya, peran, tugas dan eksistensi PDMP dalam keluarga.
b.       Memastikan struktur, fungsi, peran, dan tugas keluarga dalam kaitannya dengan eksistensi PDMP didalam keluarga berjalan dengan baik.
c.       Terpenuhinya kebutuhan PDMP seperti “layaknya” kebutuhan anggota keluarga dari PDMP tersebut.
d.       Mengoptimalkan peran-fungsi Keluarga dan masyarakat terkait keberadaan PDMP

3.       Sasaran
a.       PDMP yang tinggal bersama keluarganya (pasung maupun non-pasung)
b.       Gepeng PDMP
c.       Keluarga PDMP
d.       Masyarakat dan aparat terkait

4.       Model/Jenis Kegiatan
a.       Penyadaran (awareness), berupa:
Sosialisasi dan Diseminasi, diantaranya terdiri dari:
·         Penyebaran pamphlet dan Leaflet
·         Standing banner dan community board
·         Kampanye melalui iklan radio lokal, media massa dan elektronik lainya, juga kampanye langsung seperti di event-event yang dibuat dan atau event yang ada.
·         Rapat-rapat koordinasi, workshop sederhana, community meeting.
·         Kegiatan-kegiatan yang bersifat promote dan inform lainnya yang dilakukan secara terpadu disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah sasaran.
b.       Rehabilitasi Sosial, dalam bentuk:
1)       P3 PDMP (Pemetaan, Penjangkauan dan Pemulangan PDMP), dengan sasaran:
·      PDMP terpasung, kegiatan berupa Pembebasan Pasung. Setelah dibebaskan dipastikan memperoleh rehabilitasi medis Rumah Sakit Jiwa atau sejenisnya, sebelum memperoleh rehabilitasi sosial institusi maupun non institusi.
·      PDMP tinggal bersama keluarga non terpasung. Mengupayakan kombinasi rehabilitasi medic dan sosial di keluarga/tetap di rumah.
·      PDMP Gepeng dan keluarganya. Pengamanan, rehabilitasi medic, pertemuan keluarga, rehabsos.
2)       Pemberian Bantuan Bedah Kamar
Kegiatan ini berupa rehabilitasi kamar/ruangan PDMP menetap. Keperluan hidup normal keseharian dari PDMP seperti tempat tidur yang layak dan sesuai, tempat mandi dan BAK/BAB, serta kebutuhan-kebutuhan keseharian PDMP lainnya.
3)       Pemberian Bantuan Stimulan Ekonomi
Bantuan diberikan sesuai dengan keahlian atau potensi PDMP atau keluarganya atau daerahnya untuk memulai usaha sebagai mata pencaharian kesehariannya, selain sebagai bina mental dan skill, juga agar tercapai kemandirian PDMP.
4)       Pendampingan Sosial
Memastikan kegiatan/program terlaksana dengan baik atau PDMP membaik aspek-aspek kehidupannya.
5)       Monitoring – Evaluasi
Berupa LEO melalui TWD (Learn Each Other melalui Two Way Dialogue) dan FGD.

c.       ARSP (Appreciation, Rewards, and Supporting Program)
1)       Pembentukan paguyuban/perkumpulan keluarga dengan PDMP
2)       PDMP dengan Fungsi Sosial terbaik
3)       Keluarga PDMP punggawa rehabsos
4)       Keluarga PDMP bebas DMP
5)       Desa bebas PDMP
6)       Desa pejuang rehabilitasi PDMP
7)       Penetapan Hari Bebas Pasung

d.       Alur kegiatan
Alur kegiatan atau tahapan pelaksanaan kegiatan mengikuti pola/model pendekatan praktek pekerjaan sosial, yaitu:
1)       Pendekatan Awal
Berupa Identifikasi Sasaran/PDMP melalui Pemetaan dan Penjangkauan
2)       Pengungkapan dan Pemecahan Masalah
Berupa Asesmen PDMP dan Stakeholders terkait PDMP tersebut
3)       Penyusunan Rencana Pemecahan Masalah
Berupa Penetapan intervensi sosial yang akan dilakukan
4)       Pemecahan Masalah
Pelaksanaan kegiatan
5)       Resosialisasi
Berupa Pendampingan atau asistensi sosial terhadap PDMP dan yang terkait PDMP, khususnya keluarganya, dan pada umumnya adalah masyarkat/aparat terkait (Monev antara)
6)       Terminasi
7)       Binjut (Bimbingan Lanjut)
Berupa Monev kegiatan / monev antara
8)       Monitoring Evaluasi Program

e.       Target Capaian/Indikator Keberhasilan
1)       Peningkatan jumlah pembebasan pasung menuju rehab medic dan sosial
2)       Terpenuhinya hak layanan kesehatan jiwa bagi PDMP
3)       Terpenuhinya layanan rehabilitasi sosial bagi PDM
4)       Berkurangnya PDMP Gepeng di wilayah terkait
5)       Meningkatnya kesadaran dan perhatian keluarga terhadap keberadaan anggota keluarganya yang PDMP
6)       Meningkatnya kesadaran dan perhatian masyarakat (termasuk didalamnya aparat pemerintah) terhadap keberadaan warganya yang PDMP
7)       Tumbuh nya organisasi-organisasi nonformal, orsos dan sejenisnya yang concern terhadap isu DMP.

5.       Wilayah Sasaran Program
a.       Wilayah Kalimantan Selatan
1)       Hulu Sungai Tengah
2)       Banjar
3)       Hulu Sungai Utara
b.       Wilayah Jawa Barat
1)       Sukabumi
2)       Bekasi
3)       Cianjur
4)       Bogor
c.       Wilayah Nusa Tenggara Barat
1)       Lombok
2)       Sumbawa
3)       Bima
d.       Wilayah Bengkulu-Jambi
1)       Kota Bengkulu
2)       Kota jambi
3)       Muaro Jambi
4)       Batanghari

6.       Rencana Pelaksanaan Program
Mulai September 2013

7.       Pendanaan
Menyesuaikan / disesuaikan. Tahap awal dari APBN, selanjutnya diharapkan kiprah APBD, atau kombinasi keduanya.

Catatan:
Demikian secara garis besar tentang program Rumah Ramah ini. Program ini tentu sangat bisa cross cutting dengan program-program lain, dan saling menguatkan, baik program yang ada di Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial sendiri, maupun dari Direktorat Jenderal lain, dari Kementerian lain, dan Pemerintahan Daerah, serta lembaga-lembaga internasional.

Program ini berpusat pada PDMP melalui pelaksanaan program berbasis keluarga dan masyarakat. Keluarga sebagai basis utama program, dengan dukungan lingkungan/komunitas/masyarakatnya. Pelaksanaan program menggunakan pendekatan/teknis pekerjaan sosial. Penajaman diarahkan kepada optimalisasi peran dan fungsi keluarga pada konteks PDMP.

Nursyamsu
NK - "Earth Hails"



READ MORE - PROGRAM RUMAH RAMAH (R2)