Social Icons

Pages

Minggu, 18 Maret 2012

Absurditas Mindset melahirkan Kekhawatiran-Kekhawatiran tak Logis


Dibawah sebuah kelembagaan, orang-orang anggota kelembagaan dirundung kekhawatiran. Selalu dibingungkan dengan realitas seperti ini. Apa yang sebenarnya di khawatirkan??? Ketika ditanya, kekhawatiran selalu terkait personalitas & kepentingan-kepentingan yang mengarah pada person & golongan/kelompok-kelompok. Semua jadi sangat terlihat telah keluar dari jalur yang semestinya. Kejelasan untuk mampu melihat semua itu ketika kita telah berada pada jalur seharusnya & melepas kepentingan-kepentingan personal diri yg jadi pertimbangan.

Saat kita berada pada lembaga pelayanan misalnya, Apa yang dikhawatirkan, ketika kita sudah bekerja sesuai tupoksi "dasar" yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada yang kita layani, selalu mengedepankan kepentingan klien/mereka yang kita layani sebagai pertimbangan utama dalam setiap aspek aktivitas & kebijakan yg diambil. Ketikapun kita menjadi mengernyitkan dahi, berkeringat dst karena permasalahan yang dihadapi, itu karena permasalahan yang dihadapi, dirasakan & dialami oleh yang kita layani/klien. Kerja keras utk memfasilitasi problem solving buat mereka. Dan saat kita tempatkan diri kita pada konteks transedental sebagai makhluk Tuhan, maka Insya Allah kita malah akan semakin kuat dan terbebas dari kekhawatiran horisontal, karena semua memang telah semestinya menjalankan amanat yg mendasar dari tupoksi kita. Jika pun ada kekhawatiran, adalah kekhawatiran transendental, khawatir bahwa kita tidak menjalankan amanat tsb semestinya, khawatir DIA kecewa & melihat (dengan penglihatan Nya yg lebih tajam) bahwa kita tidak bekerja semestinya.

Namun saat kita bekerja dan beraktivitas sebagai anggota lembaga, menempatkan setiap aktivitas & kebijakan yang diambil berangkat dari perhitungan keuntungan/kepentingan personal nya sendiri sebagai pijakan dasar berpikirnya, maka kekhawatiran-kekhawatiran berantai mendekati. Ini lumrah. Karena dengan mindset dasar seperti itu, kerentanan sosial & individu sebenarnya telah menjadi miliknya. Kualitas pekerjaan pun menjadi seadanya. Bagaimana bisa mengoptimalkan pekerjaan, ketika dalam melakukan pekerjaan diawali dengan pikiran -misalnya- 'apa keuntungan ekonomis yang bisa diambil semaksimal mungkin', atau 'ada keuntungannya gak', atau 'apa yang bisa dibuat atau rekayasa dalam pekerjaan ini sehingga memberikan keuntungan terhadap diri', dst.. Disini, kita tidak lagi berdiri pada pondasi yang kokoh dan clear, karena apa? karena bekerja di lembaga pelayanan, tetapi tidak menempatkan energi & aspek pelayanan sebagai pondasi berpikir & bergerak.
Menjadi wajar ketika kemudian terjadi hal-hal chaos seperti mis-management, mis-priority, kebijakan-kebijakan paradok, output yang gak semestinya, ketidaktercapaian esensi dari tujuan & fungsi lembaga, lack of eadership, dll dll.

Jadi yang susah sebenarnya bukan pada bagaimana melaksanakan pelayanan yang baik & mencapai output, outcome dst yg terbaik dalam pelayanan yg dilakukan, akan tetapi bagaimana menempatkan hal yang benar dulu dalam pondasi berpikir kita, yaitu menjadikan "yg kita layani" sebagai patokan, indikator, titik tolak dst dari segala gerak pikir & gerak fisik serta gerak hati kita dalam bekerja. Karena pada konteks pelayanan, sudah banyak tersedia teori, konsep, tools, dll terkait hal tersebut, tinggal kita gunakan saja bahkan dengan mindset bekerja yang benar, kita bisa melahirkan bentukan/konsep baru yang berasal dari kolaborasi teori/konsep dengan fakta pekerjaan pelayanan yang dihadapi.

Dan lagi-lagi disini sistem berkiprah kuat untuk bisa menjadikan yg semestinya tersebut. Individu-individu yg memiliki mindset & kekuatan yang benar dalam bekerja, pada realitas kasat mata tidak mampu melakukan ide, dinamika, konsep dll dalam pekerjaannya, ketika sistem tidak mendukung bahkan berada pada posisi sebaliknya. Sistem ini bukan sistem dalam arti sistem pada konteks negara ini, krn negara tidak akan pernah mengkhianati amanat undang-undang, apalagi itu UUD 1945. Secara horisontal, semua makna pelayanan yang semestinya termaktub di undang-undang tersebut. Pada konteks vertikal malah lebih konkret lagi. Jadi sistem yg selalu berpaling dari yg semestinya adalah sistem bentukan individu-individu dengan mindset yang gak rasional tersebut. Bukan kelembagaan & amanat-amanat nya yang tertuang dalam visi-misi lembaga, apalagi negara dengan visi-misinya.

Individu-individu yang bergerak pada titian yang semestinya mungkin seolah-olah terasingkan/teralinasi atau dialienasi pada realitas sosial kelembagaan dimana mereka bekerja, namun sebenarnya tidak sama sekali. Justru individu-individu ini pada level perlakuan yang bagaimanapun tidak pernah merasa dirugikan sebagai personal, dan tidak ada amarah untuk itu. Kecuali dirugikan pada konteks amanat pelayanan dan mengurai amarah tidak atas nama dirinya, tapi atas nama pelayanan, kelembagaan & negara itu sendiri. Perjuangannya berada pada titian fungsi keberadaan dirinya sebagai pelaksana amanat lembaga/negara, bukan amanat person per person yg tidak mewakili warna amanat lembaga-negara, dalam contoh tulisan ini pada konteks lembaga pelayanan sosial.

Hidup ini sebuah lintasan perjalanan saja, bagaimana kita memaknakan itu untuk bisa bermanfaat buat sebanyak mungkin orang, sebanyak mungkin fungsi kemanusiaan, humanitarian dst. Dan sebenarnya sangat signifikan serta strategis ketika kita berada pada ranah pelayanan sosial. Menjadi bekal yang sangat luar biasa bagi perjalanan kita selanjutnya, atau malah menjadi bumerang, itu semua tergantung pada mindset & kelegowoan kemanusiaan, serta rasionalitas & objectivitas profesional sosial kita dalam melakukan gerak pikir, fisik, hati & jiwa kita.


NK-"Earth Hails"

Tidak ada komentar: