Social Icons

Pages

Minggu, 17 Mei 2009

Tulisan 'agak' Ngawur - Sebuah Celoteh


Kejadian ini sebenarnya sudah lumayan lama, sekitar bulan April 2009 (jadi sudah gak fresh lagi), lumayan saja buat nambahin warna arogansi "pesta demokrasi" yang diejawantahkan pada eksistensi "logo" partai. Daripada beku di 'my document' laptop saya, lebih baik dipasang disini.
Peristiwa ini menunjukkan betapa ingin 'tampil' dari sebuah eksistensi tidak ingin dan jangan sampai tersamarkan oleh tampilan lain, meskipun hanya plank (papan) nama INGO. Untuk kemudian papan nama INGO dirubuhkan itu sudah hal yang bisa ditebak. Wujud lain dari ekspansi sebelum kepastian 'menang' atau 'tidak menang' dipastikan.
Tapi tidak menutup kemungkinan juga plank papan nama rubuh dan terjungkal sampe ke got karena angin atau kejadian alam lainnya. Meskipun ini kemungkinanya kecil, karena sudah ditanam cukup kuat di tanah, dan telah lama tegak tak goyah, juga tidak ada tanda-tanda sudah mulai rapuh, misalnya dengan ciri mulai condong/miring dst. Ya apapun itu kemungkinan selalu ada, sekecil apapun.
Ini hanya tanggapan terhadap kejadian, mohon tidak untuk ditanggapi serius atau emosional, walaupun di gambar tersebut tertera logo dari partai yang menggantikan posisi berdirinya plank/papan nama INGO sebelumnya.
Pada konteks yang lain, keserasian dan berdiri berdampingan sebagai 'kebersamaan' lebih manfaat, dan saat ini hal seperti itu cukup sulit dan mahal ditemui. Mesti ada selalu center ordinat dan sub-ordinat, pada konteks apapun.. bahkan untuk konteks yang gak mesti seperti itupun.

NK
"Earth Hails"
READ MORE - Tulisan 'agak' Ngawur - Sebuah Celoteh

Sebuah Diskursus "Tak Tuntas" dari Eksistensi "Penghuni Asli"


Pertengkaran antar individu Anak Dalam, (Jambi) berlanjut percekcokan makin dalam, dan akhirnya salah satu diantara mereka terbunuh. Semestinya konteks seperti ini ketika memasuki ranah peradilan, maka peradilan yang dilakukan adalah dengan sistem paradilan suku Anak Dalam itu sendiri (peradilan Adat). Bagaimanapun juga mereka memiliki pranata sosial yang eksist dalam kehidupaan mereka termasuk dalam konteks rewards and punishment.

Tindak lanjut dari peradilan terhadap kejadian konflik perdata suku Anak Dalam ini menjadi bias dan menghadapi dualisme ketika kejadian terbunuhnya salah satu dari mereka di tempat yg bukan termasuk wilayah suku Anak Dalam tersebut, akan tetapi diluar teritori mereka, yaitu di pinggiran kota Sarolangun, yg merupakan wilayah penduduk umumnya.

Kemudian sistem peradilan yg mengurus kasus ini adalah Peradilan umum/modern Pemda Sarolangun. Cukup menarik perhatian penduduk Anak Dalam itu sendiri. Pihak keluarga dari keduabelah pihak berduyun menyaksikan konteks peradilan modern di Kantor Pengadilan Negeri Sarolangun. Sudah bisa ditebak, reaksi yg muncul dari pengunjung dari pihak suku Anak Dalam tersebut. Ada yg berguling-guling, teriak, menangis histeris dll, dengan pakaian yg alakadarnya (baik perempuan maupun laki-laki), aurat kemana-mana, dan semua disaksikan oleh penduduk moderna juga.

Pertanyaan berikutnya adalah; Mengapa Pemda Sarolangun mengambil alih kasus ini secara modern? Sementara semestinya mereka tau bahwa suku tersebut memiliki sistem peradilan sendiri. Lebih baik jika mereka/penduduk modern menjadi saksi saja. Bukannya terbalik. Disisi lain reaksi dan keadaan orang-orang suku Anak Dalam (baik ibunya, anaknya atau keluarga lainnya yag datang ke pengadilan) menjadi tontonan publik.

Disisi lainm, terutama dari sisi hukum, pertanyaan yg mucul lagi adalah: Apakah kasus yang bisa masuk ke perdata (antar individu) ini telah menjadi kasus pidana yang juga merugikan dan melibatkan publik? Dan jika diadili oleh sistem peradilan Pemda Sarolangun, berarti telah merugikan dan melibatkan publik Sarolangun. Jika tidak, kenapa tidak mengambil tindakan aspek hukum damai dalam arti ”musyawarah dan mufakat/kekeluargaan”?.

Disis lain lagi, aspek hukum adalah aspek yg mesti dipahami oleh individu atau publik yang diproses oleh perangkat hukum tersebut. Jika tidak dipahami, maka ini tidak absah secara hukum, karena seperti mengadili individu yang ”gila”, tidak paham apa yg dilaluinya, dan kenapa mesti menerima akibat nya seperti itu. Sebagai suku Anak Dalam tentunya mereka tidak pernah, bahkan mimpi sekalipun akan diadili dengan dihadiri oleh sekian banyak orang, kamera-kamera, hakim dan perangkat hukum lainnya, disebuah gedung modern.

Perlu dilihat lagi kasus ini lebih detail dengan pertimbangan hati-hati dari aspek sosial, budaya, nilai dan norma, termasuk aspek hukum itu sendiri. Banyak pertanyaan lain yg bisa diajukan, misal; seberapa jauh aspek hukum modern bisa dan berhak mengakses kasus-kasus di masyarakat pedalaman? Pada konteks apa saja dan konteks seperti apa saja? Apakah sistem nya sama seperti mengadili kriminal dari publik modern atau berbeda? Perundang-undangan seperti apa yg mengikat komunitas pedalaman tersebut? Yang mereka sendiri tidak paham perundang-undangan modern apalagi masuk ke pasal-pasal nya dan ayat-ayatnya.

Pertanyaan seloroh yg bisa dimunculkan adalah: Apakah para individu yg berkonflik itu sudah sangat membahayakan secara publik? Atau para hakim dan dalam hal ini secara general adalah Pemda Sarolangun tidak memahami secara ”komprehensif” konteks sosial dan hukum ini? Yg bisa jadi lawakan apa yg dilakukan... Kemana publik modern yg lain, baik penduduk Sarolangun maupun Provinsi Jambi yang tentunya memiliki para pakar dan ahli dibidang-bidang sosial, budaya, maupun hukum itu sendiri? Bagaimana menanggapi konteks ini? Jangan sampai ini menjadi titik awal yang membuat bias dan random, terkesan asal-asalan dalam menindaklanjuti sebuah fenomena, yang berpengaruh dalam kehidupan ”asset” daerah Suku Anak Dalam, juga Publik modern Jambi itu sendiri.


Pending items: to be continue..



NK
"Earth Hails"
READ MORE - Sebuah Diskursus "Tak Tuntas" dari Eksistensi "Penghuni Asli"

Rabu, 13 Mei 2009

Rindu Waktu


Ketika waktu begitu mahal
Sangat sempit menjepit..!
Menulis pun menjadi hiburan yang mahal..
Pada pilihan pengorbanan aktivitas
Dengan nilai yang selalu bisa,
Untuk di konversikan ke 'cash'

Waktu..,
aku meridukanmu...!

NK
"Earth Hails"
READ MORE - Rindu Waktu